penting!

0

Posted by S L D BAND | Posted on | Posted in

Rizal Ramli Prediksi Indikator Makro Ekonomi 2009 'Mendung'

Rabu, 24 September 2008 16:42

(Jakarta)- Mantan Menteri Perekonomian era Gus Dur Rizal Ramli memprediksikan tahun depan seluruh indikator makro ekonomi akan menurun. Hal ini disebabkan turunnya harga komoditi di seluruh dunia.

"Faktor lainnya aliran hot money akan keluar dari Indonesia sebagai akibat dari krisis keuangan di Amerika Serikat," ujar Rizal Ramli dalam diskusi 'Politik Ekonomi untuk Kesejahteraan Rakyat Daerah' di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (24/9).

Rizal menilai, pada saat kinerja makro kondisi makro dan mikro bagus, yang menganggur dan yang miskin juga banyak. "Apalagi kalau indikatornya makin jelek, rakyat akan semakin sulit," jelas mantan komisaris semen gresik ini.

Di luar itu, tambah Rizal, faktor lainnya adalah adanya missing link antara makro dan mikro di Indonesia. "Kalau begini terus, tahun-tahun ke depan merupakan tahun-tahun mendung. 2008-2009 ini kalau tidak tidak hati-hati bisa-bisa hujan," ungkapnya mengingatkan. (Nurseffi/IOT-03)

Kadin Ingatkan Krisis Finansial Picu PHK

Senin, 27 Oktober 2008 20:31

(Jakarta)– Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menilai dampak krisis finasial global akan memicu terjadinya gelombang pemutusan kerja oleh pengusaha, terutama jika produk perusahaan terus menurun.

Ketua Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kadin Bambang Soesatyo mengatakan industri yang kemungkinan akan paling banyak melkukan PHK adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan industri alas kaki.

“Kedua industri diperkirakan akan memangkas sekitar 10 persen dari 2,5 juta pekerjanya saat ini, “ kata Bambang melalui pesan singkatnya kepada wartawan, Senin (27/10). Menurut Bambang hal yang sama juga mungkin terjadi pada industri makanan dan baja.

Turunnya permintaan tidak hanya di pasar internasional, tetapi juga domestik. Untuk menahan laju penurunan permintaan, satu-satunya harapan adalah dicairkanya anggaran pemerintah lebih cepat. (Adi/IOT-03)

Masyarakat Tidak Percaya, Rupiah Terus Melemah

Selasa, 28 Oktober 2008 11:30

(Jakarta)- Direktur Utama BRI Sofyan Baasir menilai pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini lebih diakibatkan ketidakpercayaan dari masyarakat terhadap rupiah. Namun, ia yakin rupiah akan berangsur membaik jika masyarakat mau mengubah cara pandangnya terhadap fundamental ekonomi saat ini.

"Masyarakat dan pemerintah mestinya bisa sama-sama percaya bahwa kondisi kita sekarang jauh lebih baik, " kata Sofyan di Jakarta, Selasa (28/10).

Menurut Sofyan, pelemahan rupiah bukan disebabkan oleh kondisi fundamental perekonomian Indonesia yang buruk, karena kenyataaanya fundamental ekonomi saat ini terus membaik. "Pelemahan yang terjadi saat ini merupakan anomali. Kondisi ini tidak sesuai dengan teori, " ujar Sofyan.

Nilai tukar rupiah beberapa hari teakhir terus merosot sebagi imbas dari ketidakpastian ekonomi di Asia dan Eropa. Bahkan, hari ini, rupiah sempat menembus Rp 11.700 per dolar AS yang menurut beberapa analisis disebabkan kekahawatiran pasar bahwa rupiah akan mencapai Rp 15 ribu per dolar AS yang mengakibatkan terjadi aksi borong dolar AS oleh korporasi untuk menutupi utang valuta asingnya. (Adi/IOT-03)

Pemerintah Terus Waspadai Penurunan Nilai Rupiah

Rabu, 29 Oktober 2008 12:11

(Jakarta)– Pemerintah akan terus mewaspadai penurunan nilai rupiah terhadap dolar, oleh karena itu sejumlah menteri bersama Presiden RI akan terus melakukan kebijakan dalam mengantisipasi krisis finansial di tengah situasi yang tidak menentu ini.

“Pokoknya kita waspada,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai Rakor dengan sejumlah Menteri Di Depkeu, Selasa Malam.

Menurut Sri Mulyani, dengan situasi yang sudah mendekati sistemik, oleh karena itu pemerintah akan terus mengkaji dan mengobservasi dari situasi krisis global termasuk penurunan nilai rupiah. “Kalau meeting, itu bisa reguler. Karena observasi kita waspada terus, arahnya waspada ditingkatkan.”

Ditanya mengenai apa kebijakan pemerintah dalam menghadapi situasi yang hampir sistemik, Sri Mulyani hanya menjawab singkat, “Saya lapor Presiden dulu,” ujarnya.

Sementara, ditempat yang sama Gubernur Bank Indonesia Boediono mengatakan, bahwa BI belum bisa mengatakan apakah ada kebijakan baru dalam mengantisipasi krisis. “Nanti kita tunggu, saya tidak bisa sampaikan,” ungkapnya.(Renny/IOT-03)

Presiden SBY Segera Ambil Kebijakan Terkait Melemahnya Rupiah

Selasa, 28 Oktober 2008 15:24

(Jakarta)- Presiden SBY hari ini (28/10) mengatakan akan segera mengeluarkan kebijakan untuk mencegah pelemahan nilai Rupiah yang sudah mencapai Rp 11.800 per dolar AS.

"Karena hari ini sudah menembus Rp 11 ribu, kita akan segera melakukan langkah-langkah yang sedang dikaji oleh BI dan Menkeu. Tentu ada sejumlah policy, yang namanya policy kita harus mengeluarkan respon," ujar Presiden dalam jumpa pers di Kantor Presiden di Jakarta.

Kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah, kata presiden, dilakukan karena upaya untuk menstabilkan nilai rupiah itu tidak bisa hanya dengan melakukan intervensi ke pasar uang.

"Tidak selalu itu policy-nya bisa kontra produktif kalau yang mengakibatkan melemahnya rupiah karena fundamental yang lain, yang kita atasi fundamental itu bukan harus operasi di pasar valuta," jelasnya.

Menurutnya, pemerintah harus melakukan lagkah yang cepat dan tepat untuk mengatasi dampak krisis keuangan global saat ini dengan mengupayakan resiko sekecil-kecilnya.(*/IOT-03)

Terobosan Strategi 2008 (Sumber: Republika Online)

Oleh : Didik J Rachbini

Ekonomi Indonesia mempunyai masalah yang krusial dalam bidang pengangguran dan kemiskinan. Hal yang kini menjadi titik lemah perekonomian Indonesia adalah kebijakan ekonomi yang timpang pada kebijakan moneter dan perbankan, serta kurang akur dengan sektor riilnya. Tidak hanya itu, strategi untuk mengembangkan sektor riil khususnya industri dan perdagangan juga kurang mamadai. Masalah pengangguran dan kemikinan ini tidak dapat dibiarkan dengan perekonomian yang berjalan tanpa strategi. Suatu terobosan baru perlu dijalankan oleh pemerintah agar masalah tersebut bisa dipecahkan.

Masalah utama

Untuk melihat lebih jauh problem dalam bidang perekonomian ini, yang pertama harus dibahas adalah kondisi pengangguran yang ada sekarang. Pengangguran yang kini ada merupakan suatu kondisi yang dirasakan tidak membaik selama 2-3 tahun terakhir ini. Jika kondisi makro diklaim berhasil oleh pemerintah, maka kondisi pengangguran ini masih merupakan agenda yang belum selesai.

Solusinya tidak lain adalah kebijakan yang lebih kuat dari sekadar paket-paket, yang diluncurkan pemerintah selama setahun terakhir ini atau kebijakan-kebijakan yang disusun sebelumnya. Masalah pengangguran merupakan pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan.

Keadaan itu sudah merupakan indikasi umum dan substansial dari kegagalan kebijakan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui penciptaan pekerjaan dan tambahan lapangan pekerjaan baru. Masalah pengangguran ini masih terasa meluas di hampir seluruh wilayah Indonesia, yang mengindikasikan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak berhasil mengatasinya secara langsung melalui program penciptaan lapangan kerja maupun tidak langsung melalui kebijakan ekonomi.

Saudara kembar dari masalah pengangguran tersebut adalah masalah kemiskinan. Sama seperti kasus pengangguran, masalah kemiskinan ini juga terjadi secara meluas di berbagai pelosok wilayah Indonesia tetapi terbengkalai dari inisiatif program pemerintah dan pemerintah daerah.

Selama ini kebijakan ekonomi dari pemerintah bergulir datar hanya melemparkan paket-paket pekerjaan yang harus diselesaikan oleh departemen-departemen. Pola paket ini jika hendak dikritik tidak lain merupakan upaya pemerintah membuat listing atau daftar kegiatan, yang kemudian dikemas sebagai paket kebijakan ekonomi. Pola kebijakan yang lemah seperti ini tidak akan memperbaiki kondisi pengangguran yang tinggi dan kemiskinan yang meluas selama ini.

Padahal masalah yang krusial dari sistem ekonomi tersebut harus dilakukan dengan kebijakan terobosan yang fokus pada satu atau dua strategi induk yang kuat. Strategi tersebut harus berperan sebagai lokomotif penggeraknya, yang diikuti oleh gerbong strategi pendukung, fungsional dan sektoral. Hanya dengan cara ini, maka ekonomi Indonesia akan bangkit. Negara lain sudah menjalankannya dan kini mereka bisa memetik hasilnya.

Selama ini pemerintah melakukan kebijakan-kebijakan makro yang relatif cukup memadai. Kenyataan ini ditandai oleh kinerja indikator-indikator makro ekonomi tersebut yang relatif stabil. Bank Indonesia dengan posisi yang independen juga dapat menjalankan tugasnya relatif baik, sehingga tidak ada kritik yang keras terhadap kebijakan makro ekonomi.

Masalahnya adalah ketidakseimbangannya dengan kebijakan ekonomi pada sektor riil, sehingga seolah-olah sektor riil dikorbankan untuk mempertahankan kinerja makro ekonomi. Terutama dalam hal kebijakan moneter, perbankan dapat dengan leluasa mempertahankan kinerjanya dengan instrumen-instrumen moneter itu sendiri tanpa terkait dengan sektor riil. Instrumen SBI yang tidak seimbang dengan keharusan menempatkan dana perbankan dalam usaha merupakan bentuk kebijakan, yang dapat menolong perbaikan kinerja bank, tetapi melarikan diri dari sektor riil.

Akhirnya, sektor riil harus berkorban untuk sektor keuangan tersebut. Akibatnya dunia usaha lambat bergerak, kesempatan kerja tidak terbuka lebih luas, dan perbaikan kesejahteraan masyarakat terhambat. Pertumbuhan ekonomi pada tingkat moderat tidak banyak digerakkan oleh investasi dan peranan pemerintah dalam investasi publik. Semestinya pertumbuhan ekonomi tersebut bisa lebih tinggi dari yang dicapai sekarang jika investasi di sektor riil bergerak lebih dinamis dan investasi publik dari pemerintah juga berjalan cepat.

Perlu lebih

Kebekuan dalam dinamika ekonomi tersebut semestinya dijawab dengan kebijakan terobosan, yang bersifat strategi dengan sasaran untuk menggerakkan seluruh mesin ekonomi. Tidak seperti sekarang, di mana pemerintah lebih banyak mengeluarkan paket-paket kebijakan tanpa isi strategi, dan hanya berisi daftar kegiatan dari departemen-departemen milik pemerintah.

Pemerintah perlu membuat sebuah strategi kebijakan, bukan hanya berupa paket. Misalnya, pemerintah dapat membuat strategi daya saing atau strategi ekspor, yang dijadikan lokomotif ekonomi untuk menempatkan komoditas ekspor Indonesia lebih banyak masuk dan melakukan penetrasi di pasar bisa menjadi strategi induk, yang dapat memayungi strategi lain yang fungsional untuk mendukung.internasional sehingga memperoleh devisa untuk negara dalam jumlah yang lebih banyak. Strategi seperti ini

Ekonomi Indonesia berada di simpang jalan. Pertumbuhannya mencapai tingkat atau level yang moderat dan mulai naik sedikit pada tahun 2006 ini, sampai angka 6,3 persen. Tingkat pertumbuhan seperti itu ditopang oleh kondisi makro ekonomi, yang relatif bisa dikendalikan dengan nilai tukar yang stabil. Tingkat inflasi juga dapat dijaga dengan kebijakan yang baik sehingga tidak fluktuatif serta tidak tinggi.

Tetapi kondisi tanggung seperti ini dinilai banyak pihak belum mampu menyelesaikan masalah ketenagakerjaan dan masalah kesempatan kerja sehingga tingkat pengangguran tetap tinggi. Di balik perkembangan makro ekonomi yang dianggap baik, masalah di sektor riil belum bisa diatasi. Tanpa suatu kebijakan terobosan berupa strategi industri dan perdagangan untuk meningkatkan ekspor dan daya saing, maka masalah ini sulit dipecahkan.

Tidak hanya masalah pengangguran, kasus kemiskinan juga cukup meluas karena memang terkait dengan kesempatan kerja yang terbatas. Karena itu, untuk mengatasinya perlu kebijakan terobosan makro yang lebih komprehensif dengan mengajukan strategi promosi ekspor sebagai strategi industri dan perdagangan nasional.

Prospek ekonomi tahun 2008 diperkirakan tidak akan lebih baik dibandingkan tahun 2007. Pertumbuhan ekonomi 2008 hanya sedikit di atas angka 6 persen. Bahkan, perkiraan yang pesimistis menggambarkan bahwa tingkat pertumbuhan tahun 2008 akan terhambat karena faktor eksternal berupa harga minyak dunia yang meroket.

Langkah-langkah strategis tersebut dapat dilakukan dengan menstimulasi kelompok komoditas nasional yang mampu dan berdaya saing di pasar internasional. Kelompok komoditas ekspor ini kemudian berperan sebagai lokomotif ekonomi Indonesia dalam kaitannya dengan pemenangan dan penetrasi pasar internasional. Untuk mewujudkan strategi ini, pemerintah tidak perlu memaksakan diri dengan membuat kelompok industri yang diproteksi karena mereka belum bisa bersaing atau masih industri itu masih sangat muda, dan sebagainya. Di saat yang bersamaan, dalam pemerintahan sendiri juga harus ada langkah debirokratisasi agar hambatan birokrasi bisa dikurangi.

Sistem insentif yang baik sangat perlu dikembangkan agar tumbuh komoditas unggulan baru, yang akan menjadi tambahan ekspor baru. Bersamaan dengan ini perlu ada sistem pendukung yang efektif. Beberapa sistem pendukung yang diperlukan itu antara lain berupa dukungan perbankan terutama bank ekspor, dukungan kepabeanan, dukungan transportasi, fungsi duta besar dan atase perdagangan, juga yang lain.

Ikhtisar

- Pengangguran dan kemiskinan masih menjadi persoalan serius perekonomian Indonesia saat ini.

- Masalah tersebut merupakan indikasi umum dan substansial dari kegagalan kebijakan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

- Pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen di tahun belum mampu memecahkan masalah tersebut.

KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN POKOK-POKOK KEBIJAKAN FISKAL 2008

Penyusunan Asumsi Makro - 18/06/2007 9:43:46

Pada tanggal 23 Mei 2007, secara resmi pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan menyampaikan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal tahun 2008 kepada DPR, yang kemudian akan dibahas bersama antara pemerintah Pusat dan DPR dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun 2008 (RAPBN 2008). Pokok- Pokok Kebijakan Fiskal tahun anggaran berikutnya disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan, hal ini sesuai dengan UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2008 merupakan penjelasan pemerintah mengenai perkembangan ekonomi Indonesia dan hasil-hasil program kerja pemerintah tahun 2006-2007, serta arah kebijakan fiskal dan sasaran pembangunan ekonomi di tahun 2008. Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan fiskal 2008 akan menjadi acuan bagi pemerintah dan DPR sebagai institusi yang memiliki hak budget untuk merumuskan kebijakan umum dan prioritas APBN 2008 dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang ditetapkan di dalam Rencana Kerja Pemerintah 2008.

Sebagaimana yang telah digariskan dalam Rencana kerja Pemerintah 2008 (RKP 2008) melalui Perpres Nomor 18 tahun 2007, sasaran pembangunan ekonomi tahun 2008 diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka memperluas lapangan pekerjaan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Sasaran pertumbuhan ekonomi yang diharapkan adalah pertumbuhan yang berkualitas yaitu pertumbuhan yang dapat mendistribusikan pendapatan dan lapangan pekerjaan. Sedangkan percepatan perluasan lapangan pekerjaan diarahkan kepada peningkatan pertumbuhan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Mengenai penanggulangan kemiskinan, fokus sasaran adalah bagaimana meningkatakan pendapatan secara merata dan memberikan akses yang lebih luas bagi rakyat untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, air bersih dan kebutuhan dasar lainnya.

Dalam upaya mencapai sasaran pembangunan ekonomi di tahun 2008, penetapan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok- Pokok Kebijakan Fiskal 2008 dipengaruhi oleh berbagai variabel antara lain yaitu kondisi perekonomian baik itu domestik, regional maupun ekonomi global di tahun 2006 dan kondisi di tahun 2007. Antisipasi terhadap kemungkinan potensi-potensi tantangan yang akan dihadapi perekonomian Indonesia di tahun 2008 juga menjadi variabel penting dalam menentukan langkah apa yang akan ditempuh pemerintah.

Sebagai modal bagi perekonomian 2008 untuk melangkah menuju sasarannya, dalam review perekonomian 2006 dan proyeksi tahun 2007, indikator perekonomian 2006-2007 memperlihatkan trend peningkatan yang ditandai antara lain yaitu

Pertumbuhan PDB kuartal I 2007 yang mencapai 6,0% yaitu lebih tinggi dari pertumbuhan kuartal I tahun 2006. Peningkatan tersebut didukung oleh meningkatnya konsumsi masyarakat, investasi, dan ekspor,

Realisasi investasi meningkat sejak kuartal 3 tahun 2006 dan tumbuh 60,24% untuk PMDN serta tumbuh 14, 96% untuk PMA,

Inflasi terkendali dimana sampai dengan kuartal I mencapai 1,91 persen sementara itu di bulan April mencapai 1,76 persen. Penurunan ini terkait dengan harga beras yang mulai menurun,

Nilai tukar rupiah stabil dan menguat dikisaran Rp9.000/USD,

BI rate turun menjadi 8,75% pada bulan Mei dan cadangan devisa RI mencapai angka tertinggi sebesar USD 50,3 miliar

.

Sementara itu, perekonomian Indonesia di tahun 2008 diprediksi akan menemui beberapa tantangan baik dari kondisi global/regional maupun kondisi dalam negeri sendiri. Tantangan tersebut antara lain yaitu perlambatan ekonomi regional maupun global, ketidakpastian harga minyak dan komoditi internasional serta ketidakstabilan pasar uang global. Dari dalam negeri, Indonesia menghadapi tantangan untuk dapat mengimplementasikan pembangunan infrastruktur dan memperbaiki iklim investasi untuk menarik modal ke dalam negeri.

Dengan berbagai kondisi di atas, sasaran pembangunan ekonomi 2008 akan diejawantahkan pemerintah ke dalam tolak ukur pencapaian yaitu sasaran sasaran makro ekonomi dan sasaran sektoral pemerintah 2008 (seperti terlihat pada gambar di atas). Indikator makro 2008 yang akan diupayakan yaitu antara lain pertumbuhan ekonomi tahun 2008 diproyeksikan berkisar pada angka 6,6% s/d 7,0% dan indikator ekonomi lainnya diharapkan dalam keadaan stabil, sedangkan sasaran sektoral antar lain yaitu pengangguran pada tahun 2008 diperkirakan dapat ditekan menjadi 8,0%-9,0% dan jumlah tingkat kemiskinan turun menjadi sekitar 15%-16,8%. Secara lengkap indikator dan sasaran ekonomi makro 2008 dapat dilihat pada tabel berikut :

INDIKATOR

2008 (%)

Pertumbuhan PDB (%)

6,6 - 7,0

Inflasi (%, y-o-y)

6,0 - 6,5

Nilai tukar Rupiah (Rp/USD)

9.100 - 9.400

SBI 3 bulan (%)

7,5 - 8,0

Harga Minyak internasional

57 - 60

Lifting minyak Indonesia

1,034 - 1,040

Untuk mendukung upaya pencapaian sasaran indikator makro, dibutuhkan kebijakan, baik fiskal oleh pemerintah maupun moneter oleh BI. Kedua kebijakan tersebut harus dikoordinasikan dan diharmonisasikan secara maksimal. Hal ini sangat penting dalam menjaga stabilitas ekonomi makro terutama dalam menjaga indikator ekonomi inflasi, suku bunga dan nilai tukar rupiah. Sementara itu, kebijakan desentralisasi fiskal juga merupakan hal vital dalam mendukung pertumbuhan. Keserasian peraturan pusat dan daerah serta peningkatan pengelolaan APBD akan merangsang investasi untuk masuk ke daerah yang pada saatnya akan mendukung pertumbuhan secara agregat.

Kebijakan Fiskal dan RAPBN 2008

Berdasarkan sasaran asumsi dasar ekonomi makro dalam kerangka ekonomi makro, maka orientasi kebijakan fiskal diarahkan dari fase konsolidasi menuju kepada fase stimulus fiskal. Hal ini terlihat dari perkembangan defisit APBN yang menuju trend kenaikan, namun defisit tetap dikonsolidasikan dalam batas-batas aman sesuai amanat Undang-undang yaitu tidak melebihi angka 3 persen. Hal terpenting dari fase stimulus yaitu kualitas dalam membelanjakan uang (quality of spending) sehingga tepat guna. Defisit pada akhir tahun 2007 dan 2008 diperkirakan akan mencapai lebih dari 1,5 persen dari PDB. Defisit APBN dipengaruhi dari kebijakan penerimaan dan kebijakan belanja negara. Besarnya defisit sampai dengan tahun 2007 dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Kebijakan fiskal dari sisi penerimaan yang akan ditempuh dalam tahun 2008 adalah mengupayakan peningkatan rasio perpajakan dari 13,4% di tahun 2007 menjadi 13,5% dari PDB di tahun 2008 sera mengoptimalkan penerimaan negara dari PNBP. Upaya-upaya yang dilakukan untuk itu antara lain yaitu

  • Perbaikan admistrasi dan pelayanan perpajakan,
  • Penerapan pelaksanaan UU perpajakan yang baru,
  • Ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan.

Di sisi belanja negara, pada tahun 2008 arah kebijakan belanja pemerintah pusat difokuskan untuk meningkatkan kualitas belanja negara meliputi :

  • Perencanaan yang tepat,
  • Eksekusi anggaran yang prudent,
  • Penggunaan pada kebutuhan yang prioritas dan emergency, dan
  • Pencatatan dan pelaporan yang rapi dan disiplin.

Sedangkan untuk belanja ke daerah, pemerintah akan melakukan konsolidasi defisit APBN dan APBD untuk lebih memantapkan desentralisai fiskal. Hal ini ditujukan untuk :

  • Mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah, serta antar daerah;
  • Meningkatkan kapasitas daerah dalam menggali potensi pendapatan asli daerah,
  • Pengalihan secara bertahap dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang ditujukan untuk mendanai kegiatan yang sudah menajadi urusan daerah ke DAK, dan
  • Menghapus hold harmless sehingga pada tahun 2008 tidak dialokasikan Dana Penyesuaian.

Untuk menutupi defisit APBN 2008 yang diperkirakan masih berada pada angka diatas 1 % dari PDB, maka pemerintah tetap mengutamakan strategi pembiayaan yang murah dan rendah resiko. Dalam tahun 2008, kebijakan pembiayaan masih diprioritaskan dari sumber-sumber dana dalam negeri yaitu

  • Rekening pemerintah,
  • Penerbitan SBN rupiah,
  • Obligasi Ritel Indonesia (ORI),
  • Surat Perbendaharaan Negara (SPN) jangka pendek,
  • Surat Berharga Negara (SBN) syariah.

Sedangkan sumber pembiayaan dari luar negeri akan berasal dari pinjaman program dan proyek dan penerbitan SBN valas. Dari semua upaya pembiayaan yang ditempuh, pemerintah tetap berkomitmen untuk menurunkan ratio utang Indonesia terhadap PDB menjadi sebesar 35,2% thd PDB pada tahun 2008, sebagaimana yang telah diupayakan pemerintah sejauh ini.

Dalam pelaksanaan kebijakan fiskal, pemerintah akan dihadapkan pada risiko fiskal. Resiko tersebut antara lain yaitu :

resiko perubahan asumsi,

  • risiko belanja negara akibat adanya tekanan terhadap belanja negara khususnya terhadap risiko bencana alam,
  • risiko akibat dari dukungan pemeritah untuk pembangunan infrastruktur, dan
  • risiko utang.

Segala perhitungan dan angka-angka sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah dalam uapaya mencapai sasaran pembangunan ekonomi di tahun 2008 merupakan angka-angka yang disusun dengan semangat kebersamaan dan optimisme, namun tetap dengan pertimbangan kondisi riil yang telah, sedang dan akan dihadapi. Kondisi krisis ekonomi yang pernah terjadi cukup memberikan pelajaran berharga untuk mengelola perekonomian Indonesia lebih baik lagi demi terwujudnya cita-cita nasional. Namun demikian, berbagai angka-angka maupun sasaran tersebut akan sia-sia tanpa dukungan dan kontribusi dari seluruh komponan bangsa. Selamat berjuang!

Kebijakan Ekonomi Makro 2007 (2)

Penyusunan Asumsi Makro - 09/01/2007 17:24:12

Printable View

Berikut adalah tulisan kedua dari dua tulisan. Pada tulisan pertama membahas tentang kondisi ekonomi makro baik dalam negeri maupun luar negeri yang melatarbelakangi pemerintah dalam menyusun RAPBN 2007. Sedangkan pada tulisan kedua membahas langkah-langkah yang akan ditempuh oleh pemerintah untuk lebih menggairahkan perekonomian nasional.

Meskipun demikian, pemerintah sepenuhnya menyadari bahwa langkah-langkah tersebut juga mengandung konsekuensi terkendalanya upaya-upaya percepatan pertumbuhan ekonomi. Kinerja pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2005 yang sebelumnya kita harapkan dapat tumbuh sekitar 6 persen, dalam realisasinya hanya tumbuh sebesar 5,6 persen. Dalam tahun 2006, perekonomian diharapkan dapat tumbuh sekitar 5,9 persen, meskipun lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya sebesar 6,2 persen.

Terhambatnya proses akselerasi pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir selain merupakan kendala bagi upaya-upaya pencapaian sasaran-sasaran lainnya seperti penanggulangan masalah pengangguran dan kemiskinan, sekaligus merupakan tantangan bagi kita semua di masa datang untuk mewujudkannya. Dalam kerangka mewujudkan tantangan-tantangan inilah RAPBN 2007 disusun. Dengan mempertimbangkan dinamika perekonomian domestik serta memperhatikan perkembangan lingkungan ekonomi global yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, maka pembangunan ekonomi Indonesia ke depan masih akan dihadapkan pada sejumlah tantangan yang harus disikapi secara serius dan sungguh-sungguh serta dengan langkah-langkah yang lebih nyata.

Beberapa tantangan dimaksud antara lain mencakup:

Pertama, memelihara dan memantapkan stabilitas ekonomi makro sebagai prasyarat bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Perhatian terhadap upaya menjaga dan memantapkan stabilitas ekonomi makro ini tetap dirasa penting, mengingat adanya potensi gejolak eksternal terkait dengan tingginya harga minyak dunia, dan ketidakseimbangan global (global imbalances) aliran likuiditas global jangka pendek, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi stabilitas moneter dan ketahanan fiskal dalam negeri. Upaya pemeliharaan dan pemantapan stabilitas ekonomi makro tersebut antara lain mencakup langkah-langkah mengatasi dampak gejolak ekonomi domestik dan global, seperti laju inflasi dan suku bunga yang masih relatif tinggi, serta memperkuat koordinasi dan efektifitas kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil.

Kedua, mendorong peningkatan akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengembangkan sumber-sumber pertumbuhan yang lebih berimbang, yaitu yang lebih bertumpu pada peran investasi dan ekspor non migas. Akselerasi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, dan terjaganya stabilitas ekonomi makro, disertai dengan upaya pembenahan yang sungguh-sungguh pada sektor riil, pada gilirannya akan dapat mendorong peningkatan investasi.

Ketiga, menciptakan lapangan kerja yang lebih luas dalam rangka menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Mengingat kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja masih terbatas, maka diperlukan strategi kebijakan yang tepat dengan menempatkan prioritas pada sektor-sektor yang mempunyai efek pengganda tinggi terhadap penciptaan kesempatan kerja.

Keempat, menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif. Penciptaan iklim investasi yang lebih kondusif ini merupakan salah satu tantangan yang cukup besar bagi pemerintah dewasa ini. Komitmen perbaikan iklim investasi tersebut telah mulai dilakukan pemerintah dengan diluncurkannya paket kebijakan investasi pada bulan Februari lalu, yang mencakup perbaikan di bidang peraturan perundang-undangan, pelayanan, dan penyederhanaan prosedur dan birokrasi.

Kelima, meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang memadai dan berkualitas. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa ketersediaan infrastruktur yang memadai dan berkualitas merupakan prasyarat agar Indonesia dapat mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan, yang diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja. Beberapa survey yang dilakukan terhadap dunia usaha, mengidentifikasi bahwa kurangnya ketersediaan infrastruktur yang memadai merupakan kendala bagi masuknya investasi. Kurangnya pasokan energi listrik, keterbatasan jaringan telekomunikasi, serta kepadatan jalan telah menjadi persoalan mendasar bagi upaya peningkatan investasi dan daya saing ekspor non migas kita.

Keenam, meningkatkan daya saing ekspor. Pertumbuhan ekspor yang tinggi diperlukan selain untuk menopang pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan juga untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih luas.

Ketujuh, meningkatkan partisipasi swasta. Mengingat terbatasnya sumber daya pemerintah dalam pembiayaan pembangunan, peningkatan partisipasi swasta melalui kemitraan antara pemerintah dengan swasta (public-private partnership) merupakan tantangan yang cukup penting, khususnya terkait pembiayaan investasi dalam penyediaan infrastruktur.

Kedelapan, membangun landasan yang semakin kuat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di masa-masa mendatang.

Penurunan Harga Minyak Dunia & Defisit APBN 2008

Penerimaan Negara Bukan Pajak - 15/09/2008 13:40:58

Beberapa bulan yang lalu, kita menyaksikan fenomena kenaikan harga minyak mentah dunia yang terus mengalami kenaikan secara drastis sampai hampir mencapai US$ 150 per barel. Sekarang, trendnya berbalik arah. Harga minyak mentah dunia menunjukkan gejala penurunan yang tajam sampai sempat menyentuh $105 per barel yang merupakan level terendah selama 5 bulan terkahir ini. Di New York Mercantile Exchange, harga minyak mentah jenis light sweet untuk pengiriman bulan Oktober, diperdagangkan dengan harga sekitar US$107,89 per barel. Menurut kalangan pengamat perminyakan kemungkinan penurunan harga minyak diperkirakan akan menembus batas psikologis US$100 per barel. Salah satu faktor penyebab utama turunnya harga minyak mentah dunia menurut para analis adalah adanya laporan tentang menurunnya cadangan minyak Amerika Serikat yang ternyata lebih rendah dari yang diperkirakan.

Terjadinya penurunan harga minyak mentah dunia ini, membuka peluang terjadinya pengurangan defisit APBN 2008, terutama defisit yang diakibatkan pengeluaran Subsidi BBM dan listrik. Perkiraan defisit APBN dalam tahun anggaran 2008 ditargetkan sebesar 2,1% dari PDB. Dengan adanya penurunan harga minyak dunia, menurut Anggito Abimanyu (Kepala Badan Kebijakan Fiskal) target defisit APBN tersebut dapat ditekan menjadi sekitar 1,5 sampai 1,8%, karena asumsi harga minyak yang digunakan adalah harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 130 per barel. Padahal realisasinya, harga ICP rata-rata sampai bulan Agustus sekitar US$122 per barel.

Menurut Menteri Keuangan, dengan turunnya harga ICP berarti besarnya subsidi BBM dan listrik yang diperkirakan akan mencapai Rp 234 Triliun, dapat berkurang menjadi sekitar Rp 141 Triliun (detik Finance, 5/9-08). Di sisi lain, penurunan harga minyak mentah dunia akan berdampak pada pendapatan negara dari sektor pajak maupun bukan pajak khususnya yang bersumber dari sektor sumber daya alam minyak dan gas.

Fluktuasi harga minyak mentah dunia yang terus bergejolak memang sulit untuk ditebak secara pasti arahnya. Menurunnya harga minyak mentah dunia memang dapat memberikan dampak positif terhadap defisit APBN, namun perlu juga diwaspadai dampak negatifnya terhadap pendapatan negara. Di samping itu, penurunan harga minyak mentah sekarang tidak akan memberi dampak yang berarti terhadap APBN bila konsumsi BBM dan tingkat pemakaian listrik di dalam negeri justru meningkat melebihi dari target yang diharapkan. (Yussain Taufian/www.anggaran.depkeu.go.id)

Krisis Likuiditas dan RAPBN 2009

Penyusunan APBN - 16/10/2008 8:29:25

Krisis likuiditas yang terjadi di Amerika Serikat memberikan dampak pada perekonomian global termasuk Indonesia. Krisis yang diprediksikan akan terus berlangsung hingga dua tahun ke depan, membuat banyak negara melakukan penyesuaian-penyesuaian perekonomiannya. Dan salah satu bidang yang berbalik arah secara cukup drastis adalah trend harga minyak dunia. Trend yang beberapa bulan lalu mengarah pada kenaikan harga minyak dunia, sekarang berbalik mengalami penurunan harga. Indonesia Crude Price (ICP) yang pada Januari 2008 sebesar US $ 92 per barel, kemudian meningkat menjadi US $ 140 per barel, hingga pada bulan Juni 2008 mencapai US $ 122 per barel, merosot hingga dibawah US $ 80 per barel atau sekitar US $ 77 per barel.

Menyikapi kondisi perekonomian global tersebut, Pemerintah merombak total asumsi-asumsi dalam RAPBN 2009. Namun, alokasi dana pendidikan, sesuai dengan amanat UUD 1945 tetap dipertahankan sebesar 20%. Pada hari Senin (13/10/2008), rapat kerja Pemerintah dengan Panitia Anggaran DPR di Gedung DPR/MPR Jakarta menyepakati perubahan-perubahan asumsi-asumsi dasar dalam RAPBN 2009 sebagai berikut :

Pertumbuhan ekonomi yang semula 6,3 % turun menjadi 5,5 % hingga 6,1 %;

Nilai tukar Rupiah dari Rp. 9.150 per dolar AS dikoreksi menjadi Rp. 9.500 per dolar AS;

Tingkat inflasi, semula 6,2 % menjadi 7 %;

SBI tiga bulan dari 8 % menjadi 8,5 %;

ICP dari US $ 95 per barel menjadi US $ 85 per barel.

Menurut penjelasan Menteri Keuangan yang sekaligus menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian Ibu Sri Mulyani, krisis global yang diawali dengan krisis keuangan di negeri Paman Sam ini mengakibatkan berkurangnya likuiditas sektor keuangan, penurunan pertumbuhan perekonomian dunia, serta koreksi terhadap suku bunga pasar modal dan nilai tukar. Karena itu, menurut menteri yang baru saja mendapatkan penghargaan sebagai ”Finance Minister of The Year 2008 for Asia” ini, Pemerintah perlu melakukan penyesuaian RAPBN 2009 agar tetap kredibel dan realistis. Namun, untuk anggaran pendidikan, tetap dialokasikan 20%. Demikian penjelasan beliau sebagaimana dimuat dalam situs. www.detik.com (16/10/2008).

(Satya Susanto/www.anggaran.depkeu.go.id)

Dampak Perekonomian Global terhadap APBNP 2008

Penyusunan APBN - 23/04/2008 15:01:08

Asumsi inflasi dalam APBNP 2008 yang ditetapkan sebesar 6,5%, menurut Adiningsih (Ekonom dari Universitas Gajah Mada) dalam harian Suara Karya (16/4-08), dapat melebihi 10% akibat tekanan berat dari kondisi perekonomian global yang berada di luar kendali pemerintah. Adiningsih mengemukakan bahwa seharusnya pemerintah menyusun APBN secara konsevatif , karena apabila APBN dirubah terus, tentu akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Dia juga mengungkapkan bahwa dunia usaha juga tergantung pada pengelolaan dan realisasi APBN. Apabila APB tidak konsisten, dipastikan dunia usaha akan sulit tumbuh, sehinga sulit diharapkan pertumbuhan ekonomi yang tiggi. Mengenai besaran asumsi inflasi dalam APBNP, menurutnya tidak masuk akal, karena pada akhir tahun 208 terdapat beberapa hari raya yang sudah pasti akan memicu inflasi lebih tinggi. Disamping itu harga minyak mentah yang masih akan melambung dan harga pangan dunia yang meroket. Hal ini akan mempengaruhi harga komoditias di dalam negeri. Tidak semua komoditas dapat dikendalikan oleh pemerintah. Tambahan lagi, banyak barang impor termasuk yang illegal masuk ke ke pasar Indonesia. Hinga akhir tahun ini diperkirakan gejolak pasar Keuangan dunia belum akan reda. Seandainya Amerika Serikat meningkatkan suku bunga kredit, akan berdampak terhadap Indonesia dan dikhawatirkan inflasi akan melebihi satu digit.

Dalam menghadapi situasi perekonomian global yang tidak pasti, Raden Pardede (salah satu calon gubernur BI yang ditolak DPR) mengemukakan pendapatnya bahwa pemerintah harus membatasi besaran anggaran untuk subsidi. Menurutnya, dengan asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 95 per barel, total subsidi mencapai sekitar Rp 33 triliun. Jika harga minyak ternyata lebih dri U$$ 100 per barel, diperkirakan lebih dari 30% anggaran belanja habis untuk subsidi, bagaimana dengan sektro yang lain, katanya.

Berkaitan dengan kekurangan dana dalam APBN pasti dicarikan melalui pembiayaan yang salah satunya adalah dengan penerbitan Suat Utang Negara (SUN) disesuaikan dengan melihat kemampuan pasar untuk menyerapnya. Tetapi, jika subsidi tidak dibatasi, investor akan khawatir mengnenai kemampuan negara dalam melakukan pembayaran. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan rendahnya daya serap SUN.

Pendapat dari kedua pengamat ekonomi tersebut perlu diperhatikan sebagai informasi untuk mewaspadai bahwa kondisi perkonomian dunia yang saat ini sedang bergolak penuh ketidak pastian akan berdampak terhadap tingkat inflasi, alokasi anggaran untuk subsidi dan daya serap SUN untuk pembiayaan deficit APBN. Namun demikian, apabila dalam perjalanannya asumsi-asumsi dalam APBNP 2008 meleset jauh dari kenyataan, pengamat ekonomi tidak seharusnya semata-mata menyalahkan pemerintah, karena APBN-P 2008 tersebut merupakan hasil pembahasan dan kesepakatan antara pemerintah dengan DPR. Tambahan lagi, jika asumsi dalam APBNP tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi perekonomian, mau tidak mau APBNP 2008 harus direvisi kembali (YT)

Mencermati APBN Perubahan 2008

Penyusunan APBN - 17/03/2008 15:48:53

Berbagai penelitian menyebutkan bahwa prospek perekonomian global sepanjang 2008 akan kurang menggembirakan. Hal ini dipicu antara lain oleh krisis hipotek kredit perumahan di Amerika Serikat (subprime mortgage)yang mendorong terjadinya credit crunch dan pada akhirnya resesi ekonomi global.

Ini semakin diperparah oleh kecenderungan naiknya harga minyak mentah di pasar internasional dan penyesuaian ke atas harga komoditas pangan dunia. Perkembangan ekonomi global ini ternyata berimbas pada perekonomian nasional. Harga minyak dunia yang terus meningkat, bahkan melampaui angka USD106 per barel, telah meningkatkan perkiraan rata-rata harga minyak 2008 menjadi USD80 per barel, melebihi asumsi APBN 2008 sebesar USD60 per barel. Hal ini tentu akan berdampak pada postur APBN 2008, baik dari sisi penerimaan maupun belanja negara, sehingga diperlukan perubahan terhadap APBN 2008 yang telah diundangkan tersebut.

Dari sisi belanja negara, kenaikan harga minyak otomatis meningkatkan subsidi BBM, subsidi listrik, dan dana bagi hasil migas. Sementara konsumsi BBM bersubsidi diperkirakan meningkat dari 36 juta kiloliter dalam pagu APBN 2008 menjadi 39 juta kiloliter seiring belum tampaknya hasil program konversi energi dari minyak tanah ke elpiji dan peningkatan proporsi pemakaian bahan bakar (fuel mix) dalam memproduksi listrik PLN.

Pada penerimaan negara, perubahan harga minyak akan berdampak langsung pada kenaikan komponen penerimaan migas (PPh dan PNBP) dan kenaikan laba BUMN migas seperti Pertamina sehingga dividen pemerintah pun diperkirakan meningkat. Namun, peningkatan ini tidaklah optimal karena lifting minyak diperkirakan hanya mencapai 910.000 barel per hari (bph) atau di bawah asumsi APBN 2008 sebesar 1,034 juta bph.

Perubahan yang terjadi pada berbagai faktor eksternal dan internal di atas secara agregat diperkirakan semakin memberikan tekanan terhadap defisit APBN 2008 dari semula diproyeksikan 1,7% dari PDB (perkiraan Oktober 2007) menjadi 2,0%. Membengkaknya defisit ini selain disumbang oleh kenaikan subsidi BBM dan listrik, juga dipicu keluarnya berbagai kebijakan pemerintah untuk stabilisasi harga komoditas pangan strategis seperti beras, tepung terigu, kacang kedelai, gula pasir, dan minyak goreng.

Berbagai faktor eksternal dan internal tersebut menyebabkan defisit APBN Perubahan 2008 dapat meningkat hingga 4,2% dari PDB. Hal ini mendorong Pemerintah Indonesia melakukan berbagai penyesuaian fiskal seperti realokasi anggaran subsidi BBM dan listrik. Langkah ini sebagai antisipasi dalam mengamankan prospek kesinambungan fiskal sehingga defisit APBN Perubahan 2008 dapat dikendalikan,tidak melanggar ketentuan,dan kontribusi pemerintah terhadap sektor riil tidak semakin turun atau lebih rendah dari skenario baseline.

Sembilan Langkah Pengamanan

Selain itu, pemerintah juga telah menyiapkan sembilan langkah antisipatif bagi pengamanan APBN 2008 sekaligus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi agar tercapai target sebesar 6,8% (APBN Perubahan 6,4%).

Pertama, mengoptimalkan pendapatan baik dari sisi perpajakan, PNBP maupun dividen BUMN. Kedua, penggunaan dana cadangan APBN sekitar Rp6 triliun sesuai peruntukan manakala ada perubahan asumsi dasar. Ketiga, penghematan belanja melalui penghematan dan penajaman prioritas belanja kementerian dan lembaga nondepartemen. Keempat, upaya perbaikan parameter produksi dan subsidi BBM serta listrik.

Perbaikan parameter produksi minyak sangat penting untuk dikedepankan mengingat dalam tiga tahun terakhir, kinerja lifting minyak selalu di bawah target APBN. Kelima, program hemat energi danefisiensi ditubuh Pertamina serta PLN. Keenam, pelonggaran defisit dan optimalisasi pembiayaan melalui pemanfaatan dana kelebihan (windfall)di daerah. Ketujuh, penghematan pinjaman proyek dan optimalisasi pinjaman program. Kedelapan, penerbitan obligasi atau SBN.

Kesembilan, melakukan program stabilisasi harga melalui pengurangan beban pajak komoditas pangan strategis dan penambahan subsidi pangan. Melalui sembilan langkah itu, ditambah sejumlah langkah counter cyclical untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan stabilitas makro ekonomi, seperti pemberlakuan PP No 1/2007 tentang fasilitas PPh untuk penanaman modal, insentif bagi perusahaan yang akan masuk bursa, dan sejumlah insentif bea masuk, tambahan beban belanja negara pun dapat ditekan dan sumber penerimaan negara dapat ditingkatkan.

Bila langkah-langkah tersebut dapat dilaksanakan secara baik, defisit APBN 2008 diperkirakan dapat dikendalikan dan diamankan hingga mencapai 2% dari PDB meski masih sedikit lebih tinggi dibandingkan realisasi defisit 2007 sebesar 1,1% dari PDB. Tingginya defisit tahun 2008 ini dikarenakan konsumsi dan investasi pemerintah meningkat dibandingkan tahun 2007. Kendati demikian, konsumsi dan investasi pemerintah dengan defisit sebesar 2% dari PDB ini masih lebih rendah dibandingkan skenario baseline sebelumnya yang menggunakan defisit 1,8% dari PDB.

Yang penting untuk dicatat adalah pelaksanaan sembilan langkah pengamanan defisit APBN 2008 beserta sejumlah langkah counter cyclical harus diperhitungkan secara matang, terkoordinasi, dan realistis. Langkah tersebut juga harus diimplementasikan sesuai prioritasnya dan dikomunikasikan secara periodik, transparan, dan akuntabel sehingga memperoleh dukungan dari semua pihak. (Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja).

Muslimin Anwar,

Ekonom Bank Indonesia

Seputar Indonesia / 17 Maret 2008

Sisa Subsidi Untuk Menutup Defisit APBN

Penyusunan APBN - 24/10/2008 11:47:20

Printable View

JAKARTA. Pemerintah berencana mengguNakan dana sisa subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Listrik dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2008 sebagai dana talangan untuk membiayai defisit anggaran 2008 serta defisit APBN 2009. Namun DPR sudah berencana mengganjal rencana tersebut.

Defisit APBNP 2008 diperkirakan akan mencapai l,7% atau Rp 82,3 triliun. Sementara defisit anggaran 2009 sebesar 1% atau Rp 52,7 triliun. "Ongkos pembiayaan semakin mahal dengan naiknya tingkat suku bunga obligasi pemerintah akibat krisis keuangan global," kata Direktur Alokasi Pendanaan Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Wismana Adi Suryabrata.

Wismana menambahkan, jika kelebihan dana subsidi itu untuk membiayai defisit 2009, sisa dana itu akan masuk ke dalam akumulasi saldo 2009. Pemerintah memerlukan saldo ini untuk mengamankan kegiatan operasional pemerintahan pada awal tahun. Sebab saat itu penerimaan negara belum masuk, sedangkan pemerintah sudah harus membayar gaji dan operasional pemerintah pusat termasuk Dana Alokasi Umum (DAU) sejak awal tahun.

Tapi, sepertinya rencana pemerintah ini tak akan berjalan mulus. Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR dari Fraksi Golkar Harry Azhar Azis menolak keras rencana ini. Menurut Harry, saat ini pemerintah tidak bisa merencanakan penggunaan dana sisa subsidi BBM dan listrik.

Sebab angka defisit di dalam APBN hanya sebuah prediksi. Seharusnya pemerintah menggunakan dana sisa itu berdasarkan kondisi aktual. "Kalau direncanakan sekarang, itu melanggar undang-undang APBN, seharusnya 30 hari setelah anggaran berakhir," kata Harry.

Harry menegaskan, penggunaan sisa dana subsidi itu pun tidak sembarangan. "Penggunaannya harus meminta persetujuan DPR," katanya.

Uji Agung Santosa. (Kontan/24 Oktober 2008)

Pertumbuhan Ekonomi 2009 Dipatok 6 Persen

Penyusunan APBN - 16/10/2008 10:25:06

Printable View

JAKARTA, KAMIS - Setelah melalui beberapa kali pembahasan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2009 akhirnya disepakati sebesar 6 persen dengan mempertimbangkan perlambatan laju pertumbuhan perekonomian dunia, serta mempertahankan prioritas-prioritas pembangunan yang telah direncanakan dalam RKP (Rencana Kerja Pemerintah) 2009.

Dalam rapat kerja Panitia Anggaran DPR dan pemerintah yang diwakili Menkeu Sri Mulyani Indrawati dan Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, serta Gubernur BI Boediono di Jakarta, Rabu (15/10) malam, juga disepakati beberapa asumsi lainnya, yaitu inflasi 2009 6,2 persen, nilai tukar Rp 9.400 per dolar AS, tingkat bunga SBI 3 bulan 7,5 persen dan harga minyak mentah Indonesia (ICP) 80 dolar AS per barel.

"Maka PDB (Produk Domestik Bruto-red) secara nominal ditargetkan sebesar Rp 5.327,537 triliun," kata Ketua Panja Asumsi Dasar, Pendapatan, Defisit, dan Pembiayaan, Suharso Monoarfa.

Dengan perubahan asumsi dasar tersebut, katanya, maka pendapatan negara dan hibah pada 2009 disepakati sebesar Rp 982,725 triliun, dengan penerimaan perpajakan sebesar Rp 725,843 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 55,946 triliun.

Suharso mengatakan, penurunan asumsi ICP dari usulan pemerintah, 85 dolar AS per barel telah menyebabkan turunnya penerimaan negara dari pajak penghasilan (PPh) migas dan PNBP migas hingga masing-masing sebesar Rp 4 triliun dan Rp 16,46 triliun.

Sedangkan belanja negara disepakati sebesar Rp 1.035,457 triliun, yang terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp 731,660 triliun, pembayaran bunga utang Rp 101,657 triliun, subsidi energi Rp 103,568 triliun, risiko fiskal Rp 15,765 triliun, tambahan anggaran pendidikan Rp 30,202 triliun, dan transfer ke daerah sebesar Rp 300,677 triliun.

"Panja sepakat untuk melakukan penghematan belanja negara sebesar Rp 7,899 triliun untuk mengurangi target pembiayaan anggaran 2009," kata Suharso.

Dia menjelaskan, pembayaran bunga utang, terdiri atas pembayaran bunga utang dalam negeri Rp 69,34 triliun, dan bunga utang luar negeri Rp 32,317 triliun "Berdasarkan perhitungan tersebut, maka disepakati besaran defisit tahun 2009 adalah Rp 53,732 triliun atau 1,0 persen dari PDB," kata Suharso.

Sedangkan untuk membiayai defisit tersebut, panja menyepakati pembiayaan dari dalam negeri sebesar Rp 62,180 triliun, dan pembiayaan luar negeri sebesar negatif Rp 9,448 triliun.

"Setelah mempertimbangkan kondisi krisis keuangan global yang berimbas pada perekonomian Indonesia, panja menyepakati untuk mengurangi target penerbitan surat berharga negara (SBN) neto menjadi sebesar Rp 54,719 triliun," katanya.

Sedangkan jika dalam pelaksanaannya, pasar keuangan tidak dapat menyerap rencana SBN yang akan diterbitkan pemerintah dan/atau biaya penerbitan menjadi mahal, tambahnya, maka pemerintah dapat menggunakan alternatif pembiayaan yang berasal dari pinjaman tunai bilateral dan multilateral dengan mengupayakan biaya yang paling efisien.

"Panja juga meminta BI wajib membeli SBN jangka pendek yang diterbitkan pemerintah pusat," katanya.

Atas kesepakatan tersebut, Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pihaknya mengakui bahwa pembahasan asumsi ini sangat sulit mengingat perubahan situasi di dunia yang sagat drastis, dramatis serta fundamental.

"Kami beri contoh harga minyak saat membahas kerangka ekonomi makro pada Maret lalu 140 dolar AS. Waktu kami tulis nota keuangan harganya 130 dolar AS. Waktu mulai bahas dengan Panggar, sudah turun jadi 110 dolar AS. Sekarang saat baru menyelesaikan panja A untuk postur APBN sudah turun 80 dolar AS. Jadi sembari membahas dengan Panggar, harga minyak yang selalu kita asumsikan dan prediksikan berubah sangat dramatis seperti ’roller coaster’," kata Menkeu.

Namun demikian, Menkeu menganggap kompromi politik yang dicapai dalam bentuk asumsi-asumsi ekonomi makro tersebut cukup realistis untuk digunakan dalam penghitungan APBN 2009.

Bagi pemerintah, kata Sri Mulyani, kompromi politik yang tercermin pada target pertumbuhan ekonomi 6,0 persen menjadi sinyal bahwa pemeritnah bersama DPR tidak ingin laju pertumbuhan ekonomi cepat di atas 6 persen sejak 2007 tetap terjaga, meskipun dalam situasi seperti ini.

"Sinyal yang harus diberikan bersama oleh pemerintah dan DPR dalam desain APBN 2009 kepada konstituen politik, konstituen pasar serta masyarakat domestik dan internasional adalah bahwa Indonesia masih optimis secara hati-hati dan tetap wapada dalam menghadapi situasi krisis yang terjadi," katanya.

Terkait rencana pemotongan pagu indikatif belanja kementerian lembaga (KL), Sri Mulyani mengatakan pihaknya masih akan melakukan kajian dengan melihat seluruh komponen belanja, terutama yang diangap bisa dipotong karena tidak akan mengganggu program utama KL dan bisa dilihat sebagai penghematan yang bijaksana, seperti perjalanan dinas, belanja barang, seminar dan rapat kerja.

"Dan bahkan di Departemen Keuangan dan kemungkinan di kementerian lainnya, penghematan atas pengeluaran listrik. Pembayaran listrik kami sejak Agustus turun 30-40 persen," katanya

Dia juga meminta agar anggaran untuk bantuan langsung tunai (BLT) 2009 yang akan berlangsung selama 3 bulan dan anggaran Program Nasional Pemberdayaan masyarakat (PNPM) dapat dipertahankan, meskipun ada fraksi yang menginginkan kedua anggaran tersebut direalokasi ke program lain yang bersifat padat karya Sedangkan Gubernur BI, Boediono menyatakan pihaknya akan meningkatkan kerjasama dengan pemerintah dalam rangka mencapai seluruh asumsi dalam APBN tersebut.

Kompas / 16 Oktober 2008

Menkeu : RAPBN 2009 Mengandung Sense of Crisis

Penyusunan APBN - 16/10/2008 9:56:24

Printable View

Jakarta - Pemerintah mengakui kesulitannya untuk menyusun RAPBN 2009 di tengah kondisi krisis finansial yang berdampak pada melemahnya ekonomi dunia. Pemerintah pun menyusun RAPBN yang penuh sense of crisis.

Menteri Keuangan sekaligus Menko Perekonomian Sri Mulyani dalam rapat di Gedung DPR/MPR, Rabu (15/10/2008) malam, mengatakan dalam pembahasan RAPBN 2009 terjadi beberapa kali perubahan asumsi makro akibat situasi yang sangat dinamis, seiring dengan bergejolaknya perekonomian dunia.

"Perubahan asumsi RAPBN 2009 mengandung sense of urgensi dan sense of crisis karena kita melihat memang suasana sangat dinamis. Jadi dari mulai sebelumnya pemerintah membahas nota keuangan begitu banyak hal yang terjadi di dunia ini. Sehingga dalam suasana dunia yang berubah sangat dinamis dan dramatis dan bahkan fundamental, proyeksi menyusun anggaran 2009 menjadi makin rumit," tuturnya.

Sri Mulyani mengatakan volatilitas harga minyak dunia yang cukup tinggi menjadi salah satu sebab sulitnya menghitung besaran asumsi harga minyak yang pas karena situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian.

"Kami memberikan contoh harga minyak saat kami menyusun kerangka ekonomi makro bulan Maret itu capai US$ 140 per barel, kemudian waktu nota keuangan harganya sekitar US$ 130 per barel, waktu dibahas di DPR sudah masuk US$ 110 per barel, sekarang kita baru menyelesaikan Panja (Panitia Kerja) sudah turun US$ 80 per barel, jadi harga minyak yang selalu kita asumsikan berubah sangat dramatis seperti roller coster dalam 6 bulan ini," urainya.

Pemerintah dan DPR sepakat juga untuk menurunkan target pertumbuhan ekonomi dari 6,3% menjadi 6%. Menurut Sri Mulyani, penurunan ini menunjukkan sinyal yang baik bahwa pemerintah akan terus mendorong perekonomian.

"Ini menunjukkan sinyal DPR dan Pemerintah bersama menginginkan walau krisis global terjadi ingin pertumbuhan ekonomi tidak terganggu, itu adalah suatu sinyal yang ingin diberikan," jelasnya.

Menurutnya meskipun pertumbuhan ekonomi turun, namun masih menunjukkan optimisme Indonesia bisa bertumbuh di tengah guncangan krisis global yang terjadi.

"Jadi Indonesia tetap optimis dan hati-hati dalam situasi krisis yang terjadi. Sumber pertumbuhan ekonomi, walaupun kita tahu ada risiko global kepada ekspor, namun investasi bisa berjalan dengan sehat," tegasnya.

Ia melanjutkan, saat ini BI ingin perbankan merasionalkan ekspansi kredit sehingga tidak menimbulkan stress dalam neraca perbankan namun masih cocok dengan target pertumbuhan 6%. Pemerintah akan terus menjaga kestabilan harga agar ada peningkatan daya beli masyarakat," katanya.

Pemerintah dan DPR telah menyepati sejumlah asumsi baru untuk RAPBN 2009 yakni :

  • Pertumbuhan ekonomi direvisi dari 6,3% menjadi 5%
  • Inflasi menjadi 6,2%
  • Nilai tukar rupiah 9.400 per dolar AS
  • SBI 3 Bulan menjadi 7,5%
  • Indonesia Crude Price (ICP) sebesar US$ 85 per barel.

www.detikfinance.com

Unpad Menanggapi Isu Dampak Global Krisis Finansial AS

15 Oktober 2008

Terkait dengan adanya isu terkini, Fakultas Ekonomi Unpad menyelenggarakan seminar yang bertemakan “Global Impact of The US Financial Crisis“. Seminar yang diselenggarakan hari Selasa (14/10), di Ruang Multimedia B1 Gedung FE Unpad Jalan Dipati Ukur Bandung ini merupakan hasil kerjasama FE Unpad dengan Bank Indonesia.

Seminar ini menghadirkan pembicara Prof. Boudewijn van Pamelen dari Tilburg Universiteit The Netherlands, Dr. Nury Effendi dan Dr. Sulaeman R. Nidar dari Fakultas Ekonomi Unpad, serta Arief Ramayandi, S.E., M.Ec selaku moderator. Dalam seminar ini mengemuka beberapa pandangan, di antaranya tidak bisa dipungkiri bahwa krisis ekonomi yang dialami oleh Amerika Serikat secara tidak langsung juga akan mempengaruhi ekonomi negara-negara lain, termasuk Indonesia. “Kita baru saja mengalami ‘tsunami’ ekonomi global,” begitu menurut penuturan Dr. Nury Effendi. Ia juga memperkirakan bahwa dampak yang akan jelas terlihat tahun depan adalah kemungkinan besar demand akan berkurang.

Masih menurut Dr. Nury, adanya krisis ekonomi tersebut rupanya dampaknya bagi Indonesia sendiri tidak terlalu mengkhawatirkan. Hal ini dikarenakan pasar modal Indonesia masih sangat kecil dibandingkan dengan negara lainnya. “Kita perlu mewaspadai sektor ekspor di Indonesia. Pemerintah juga harus dapat mencari celah lain selain sektor ekspor, karena kemungkinan yang akan terjadi adalah adanya keterlambatan pertumbuhan ekonomi negara kita,” lanjut Dr. Nury.

Berbeda dengan pernyataan Dr. Nury, Dr. Sulaeman R. Nidar menyatakan bahwa krisis ekonomi yang dialami AS berdampak langsung pada pasar modal di Indonesia. “Hal ini sangat berpengaruh besar, karena peranan pasar modal Indonesia adalah sumber pembiayaan dan alternatif investasi bagi investor atau penanam modal,” ujarnya. Oleh karena itu ia berharap adanya stabilitas kurs dari pemerintah sendiri. “Pasar modal kita terintegrasi dengan pasar modal global. Saran saya dalam menaggapi isu ini adalah untuk melakukan regulasi pasar dan penegakannya,” lanjutnya.

Setelah pemaparan pembicara, tanggapan pertama diberikan langsung oleh Prof. Dr. Yuyun yang juga hadir dalam seminar ini. “Yang akan dihadapi Indonesia setelah krisis ini adalah semakin banyaknya pengangguran, keterlambatan pertumbuhan ekonomi, juga akan terjadi inflasi, dan kita sudah harus siap menghadapi ini,” tuturnya.

Dari prediksi tersebut, Prof. Yuyun juga memberikan solusi yaitu micro policy, yang mengandung 5 (lima) hal penting, antara lain mendorong berdirinya perusahaan baru. Selain itu credit policy yang ada harus pro-enterpreneur dan jangan menyulitkan. Kemudian mendorong kebijakan government regulation yang akan mempermudah perizinan. Hal penting lainnya adalah infrastructures yang akan mendukung terbentuknya wirausahawan. Selanjutnya yang terakhir adalah melakukan research & development untuk tetap menjaga stabilitas.

Seminar sore dengan topik yang up-to-date ini, mendapat banyak tanggapan dari peserta yang antusias melontarkan pertanyaan dan berdiskusi. Hal tersebut mendorong Prof. Boudewijn van Pamelen untuk berbagi pendapat. Ia menyatakan bahwa krisis ekonomi AS menjadi sebuah pertanda bagi negara-negara lain untuk tetap menjaga stabilitas ekonomi masing-masing negara. Penjelasan panjang lebar dari laki-laki yang akrab dipanggil Prof. van Pamelen itu, pada intinya menegaskan bahwa dampak dari krisis finansial Amerika Serikat terhadap Indonesia tidaklah begitu signfikan, namun masih tetap harus diwaspadai. Memang yang terjadi di Indonesia hanyalah krisis pasar modal saja, namun ia sangat berharap bahwa Indonesia tidak akan sampai mengalami krisis ekonomi seperti yang pernah dialami beberapa tahun lalu. (ing & www)

Krisis di AS Mengancam Stabilitas Inflasi Indonesia

Selasa, 22 januari 2008 | 03:08 WIB

Ancaman krisis di Amerika Serikat tampaknya sudah di depan mata. Memang tak ada yang tahu akan separah apa krisis tersebut.

Namun, banyak pihak memperkirakan bentuk gejolak yang bakal terjadi akan menjelma sebagai perlambatan pertumbuhan ekonomi negara superpower ini.

Tanggal 10 Januari 2008, Gubernur The Federal Reserve Ben Bernanke sudah mengonfirmasikan kepada senat bahwa perlambatan ekonomi negara itu telah semakin mendekat.

Bernanke menggambarkan perekonomian AS akan memburuk pada 2008 akibat gejolak di pasar perumahan, kenaikan harga minyak, dan melemahnya pasar saham.

Para ekonom dari Goldman Sach mendefinisikannya sebagai tanda-tanda awal terjadinya resesi ekonomi di AS. Tinggal menunggu waktunya saja.

Di dalam negeri, kalangan pemerintah sebenarnya sudah mulai sadar pada kondisi itu. Jauh- jauh hari, pada pertengahan November 2007, Menteri Koordinator Perekonomian Boediono kerap menjelaskan bakal adanya gejolak perekonomian di AS pada 2008.

Namun, Boediono masih percaya tak akan ada resesi, hanya perlambatan pertumbuhan ekonomi. Perlambatan ekonomi bisa berarti banyak hal. Salah satu yang dipercaya akan terjadi adalah melemahnya daya beli penduduk Amerika.

Apa dampaknya bagi Indonesia? Ekspor Indonesia akan terpengaruh, industri dalam negeri akan meradang, yang pada ujungnya akan meningkatkan angka pengangguran.

Jika permintaan luar negeri berkurang, industri akan melakukan penyesuaian, antara lain mengurangi produksi. Jika produksi dikurangi, bisa jadi tenaga kerja pun akan dikurangi. Penganggur akan lebih banyak lagi, kemiskinan bisa melonjak. Artinya, jika AS sakit, Indonesia bisa langsung terkena getahnya.

Coba tengok angka-angka ekspor nonmigas Indonesia ke AS selama ini yang tercatat di Badan Pusat Statistik dan diolah kembali oleh Departemen Perdagangan.

Sekilas terlihat betapa produk Indonesia sangat bergantung pada pasar Amerika karena ekspor Indonesia ke negara itu menduduki peringkat kedua terbesar setelah Jepang.

Ekspor nonmigas Indonesia ke AS meningkat dari 7,17 miliar dollar AS pada 2002 menjadi 10,68 miliar dollar AS pada 2006 atau meningkat 11,74 persen.

Selama Januari-Agustus 2007, ekspor ke AS sudah mencapai 7,48 miliar dollar AS atau meningkat 5,14 persen daripada periode yang sama tahun 2006.

Itu artinya, peran ekspor ke AS terhadap total ekspor nonmigas Indonesia mencapai 12,45 persen, setingkat di bawah ekspor ke Jepang yang mencapai 15,36 persen.

Pemerintah menyarankan para eksportir agar secepatnya mencari pasar baru di luar AS. Arahkan ke pasar Asia, terutama negara-negara berkembangnya, yang diperkirakan perekonomiannya masih bisa tumbuh.

Coba lihat inflasi

Di lihat dari sisi harga barang, Indonesia pun belum aman dari potensi tekanan inflasi. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu dalam sebuah tulisannya mengungkapkan, adanya beberapa risiko yang mungkin menyebabkan tekanan terhadap laju inflasi tahun 2008.

Risiko itu, pertama, proses konsolidasi pasar finansial global terkait dampak krisis subprime mortgage masih belum dapat dipastikan mereda. Kedua, risiko terkait kenaikan harga minyak dunia.

Ketiga, potensi peningkatan permintaan konsumsi minyak domestik di atas asumsi, terutama yang dipicu tingginya disparitas harga BBM bersubsidi dengan BBM nonsubsidi maupun harga BBM di negara tetangga.

Keempat, kemampuan produksi minyak domestik yang tidak sesuai target. Kelima, persepsi pelaku ekonomi terhadap prospek kesinambungan fiskal dan prospek perekonomian secara keseluruhan terkait dampak kenaikan harga minyak dunia.

Kelima risiko itu merupakan ancaman yang bisa membebani pencapaian target inflasi pada 2008 yang ditetapkan 5 persen dengan deviasi 1 persen. Namun, itu ada obat pencegahnya.

Obat pencegah laju inflasi itu pada dasarnya ada lima. Pertama, kemampuan dalam menjaga keseimbangan permintaan dan pasokan (output gap). Kedua, menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Ketiga, menjaga agar ekspektasi inflasi berada pada level yang rendah. Keempat, meminimalisasikan dampak administered price. Kelima, menjaga kecukupan pasokan dan kelancaran distribusi volatile food.

Obat ini hanya bisa diterapkan jika pemerintah dan Bank Indonesia benar-benar satu kata dan bekerja sama menekan laju inflasi.

Ingat, beberapa saat setelah Forum Pengendali Inflasi yang dikomandani Menko Perekonomian dibentuk 3 Januari 2008 (termasuk menetapkan target inflasi tahun ini 5 plus minus satu), BI malah melihat ada kemungkinan inflasi melonjak di atas 6 persen pada akhir 2008.

Inflasi harus menjadi perhatian utama karena merupakan potret yang terjadi di tengah masyarakat. Semakin tinggi laju inflasi, maka semakin rendah kesejahteraan masyarakat karena nilai setiap sen uang yang dipegang orang terus menurun.

Daya beli melorot. Jadi, jika ekonomi dunia meradang, orang miskin Indonesia pun bisa jadi semakin miskin. (Orin Basuki)

Krisis Ekonomi AS Berpotensi Menekan Ekonomi Indonesia

Bisnis-Indonesia, 21 Januari 2008

JAKARTA (Suara Karya): Resesi ekonomi yang kini melanda AS, juga gejolak keuangan di beberapa belahan dunia, tak boleh dipandang remeh. Pemerintah harus waspada dan antisipatif, karena resesi ekonomi AS kemungkinan semakin parah sehingga bisa berdampak hebat terhadap kehidupan ekonomi di dalam negeri.

Di sisi lain, sektor keuangan di beberapa belahan dunia yang lain kini juga bergejolak dan potensial berimbas ke mana-mana, termasuk ke Indonesia.

Demikian pendapat kalangan ekonom dan anggota DPR terkait bahaya resesi ekonomi AS dan krisis keuangan di beberapa belahan dunia yang lain sekarang ini. Dihubungi terpisah, kemarin, di Jakarta, mereka adalah ekonom International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE) Iman Sugema, pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy, Ketua Panitia Anggaran DPR Emir Moeis, serta anggota Komisi XI DPR Harry Azhar Azis. Mereka sependapat bahwa resesi ekonomi AS amat potensial menggoyahkan optimisme bangsa menyangkut prospek ekonomi nasional dalam menyejahterakan kehidupan rakyat.

Menurut Iman Sugema, ekonomi Indonesia tahun ini sangat rentan oleh volatilitas eksternal, termasuk resesi ekonomi AS. “Tahun ini amat mungkin terjadi krisis finansial di Eropa Timur akibat pecahnya bubble (gelembung) ekonomi di sana,” ujarnya.

Pada saat bersamaan, Amerika Latin juga potensial diguncang krisis perbankan akibat penyaluran kredit yang telanjur jor-joran. “Kalau ini sampai menular ke Indonesia, ekonomi kita akan tertekan hebat,” ujar Iman.

Menurut dia, Eropa Timur dan Amerika Latin sebenarnya pernah mengalami krisis ekonomi dan keuangan. Namun, saat itu krisis tersebut lebih karena pengaruh pergolakan politik di masing-masing negara. Tapi kini krisis ekonomi di kedua kawasan amat potensial karena bubble di sektor keuangan sudah amat berlebihan. Artinya, bubble tersebut hampir pasti segera pecah. “Celakanya, kalau negara-negara berkembang yang terkena krisis ekonomi, lembaga-lembaga keuangan internasional cenderung lepas tangan. Akibatnya, krisis yang terjadi bisa sangat parah dan potensial mengimbas ke wilayah lain,” tutur Iman.

Sementara itu, Emir Moeis mengingatkan, cepat atau lambat resesi ekonomi AS bakal berimbas ke mana-mana, termasuk ke Indonesia. Terlebih lagi resesi ekonomi AS ini potensial kian parah. “Ekonomi AS sangat terpukul oleh harga minyak dunia yang menjulang tinggi. Itu membuat daya beli masyarakat AS menjadi lemah. Tak bisa tidak, itu berdampak terhadap ekspor kita ke AS,” tuturnya.

Karena itu, Emir mewanti-wanti pemerintah agar tak memandang remeh potensi imbas krisis ekonomi AS. Dalam kontek ini, dia meminta pemerintah berkonsentrasi mengendalikan harga kebutuhan pokok masyarakat yang makin meroket.

“Seumur-umur tidak pernah terjadi harga kedelai naik lebih dari seratus persen sehingga tidak terjangkau lagi,” kata Emir memberi contoh.

Emir menekankan, masalah paling mendesak yang perlu dilakukan pemerintah sekarang ini adalah membuat rakyat kembali mudah mendapatkan bahan pangan. Kalau itu tidak bisa segera diwujudkan, katanya, kondisi ekonomi makro yang relatif bagus tak banyak artinya.

“Bosan saya mendengar pemerintah yang selalu berdalih bahwa makro-ekonomi kita bagus, sementara rakyat banyak sangat amat kesulitan. Ekonomi kita hanya bagus di tingkat elite di kota-kota besar. Tapi di kampung-kampung, rakyat sudah sangat menderita. Daya beli mereka sudah sangat jatuh,” kata Emir.

Dia memberi contoh, bahkan warung-warung di pelosok Jakarta kini bertumbangan ke jurang kebangkrutan. Itu sebagai bukti bahwa rakyat kebanyakan sudah tak berbelanja lagi. Sementara lapisan atas justru berbelanja keperluan sehari-hari ke pasar-pasar modern milik pengusaha besar. “Kita sekarang ini sudah di ambang gejolak sosial. Jadi, pemerintah harus segera membuat daya beli rakyat pulih kembali, terutama menyangkut bahan pangan,” kata Emir.

Sementara itu, Harry Azhar Azis mengaku khawatir sektor produksi di dalam negeri berguncang oleh imbas situasi ekonomi global. Dia mengingatkan, efek domino krisis ekonomi AS maupun belahan dunia yang lain sangat nyata dan berbahaya. “Ancaman global terkait kasus subprime morgage yang membuat struktur ekonomi AS melemah, juga lonjakan harga minyak dunia amat potensial mengimbas terhadap ekonomi nasional,” katanya.

Harry melihat efek domino krisis ekonomi global itu sudah mulai tergambar nyata, yaitu daya beli rakyat di dalam negeri semakin melemah. Sampai-sampai mereka tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan pokok pangan. “Kondisi itu sangat berbahaya karena bisa melahirkan gejolak sosial,” ujar Harry.

Ichsanuddin Noorsy menambahkan, ketergantungan Indonesia terhadap impor malah kian besar akibat sektor produksi di dalam negeri gagal. “Kenapa gagal, karena investasi mandek. Jadi, ini sinyal bahwa ekonomi kita sekarang ini amat rapuh,” katanya.

Noorsy mengingatkan, penyaluran kredit yang sebagian besar jatuh ke sektor konsumtif juga menjadi sumber kerapuhan ekonomi nasional. Sebab, sektor konsumsi justru telanjur dikuasai asing.

“Perbaikan ekonomi yang berujung pada pengentasan kemiskinan tak bisa hanya mengandalkan kebijakan yang berorientasi pasar dan investasi asing. Itu berarti, pelan tapi pasti kita harus menumbuhkan kekuatan sendiri dalam mengelola ekonomi kita,” ujar Noorsy.

Dia menekankan, pemerintah harus terus menggerakkan sektor informal yang banyak mengayomi usaha menengah kecil dan mikro (UMKM) karena banyak menyerap tenaga kerja. UMKM, ujarnya, harus dilindungi dan diberi stimulus maupun kemudahan agar tetap mampu berkembang. (Indra/A Choir)

ANALISIS, Implikasi Gejolak Eksternal terhadap Ekonomi RI (1)

Seputar-Indonesia, 4 Februari 2008

PEREKONOMIAN Indonesia tahun 2007 lebih dipengaruhi dinamika eksternal ketimbang internal. Misalnya, kenaikan harga minyak dunia yang sempat mencapai USD100 per barel menjelang akhir 2007.

Di satu sisi,lonjakan harga minyak berdampak positif, yakni menyebabkan peningkatan ekspor. Hal ini terlihat dari kontribusi yang besar dari tingginya harga minyak kelapa sawit (crude palm oil) dan produk-produk primer lain. Hasilnya, total ekspor kembali menembus USD110 miliar, memperbaiki rekor sebelumnya pada 2006 yang sebesar USD100,6 miliar.

Namun, dinamika eksternal juga berdampak negatif.Ambil contoh,krisis subprime mortgage yang bermula pada akhir Juli 2007 ternyata eksesnya masih berlanjut hingga kini.Beberapa bank investasi skala global (global investment banks) mengalami kerugian besar, bahkan dipaksa memangkas ribuan karyawannya. Hingga kini, pasar keuangan global terus bergejolak kendati telah dilakukan langkah-langkah represif oleh bank-bank sentral dunia.

Pertama, dimotori Bank Sentral AS (The Federal Reserve Bank/The Fed), dilakukan penurunan suku bunga. Bahkan khusus untuk The Fed,telah ditu-runkan 75 basis poin pekan lalu (22/1) menjadi 3,5%.

Kedua, bank-bank sentral menggelontori pasar keuangan dengan likuiditas yang besar, mencapai USD500 miliar, untuk menormalkan kepercayaan pelaku pasar.

Ketiga,Pemerintah dan Kongres AS menyepakati dikeluarkannya paket stimulus ekonomi senilai USD145 miliar atau setara dengan 1% dari produk domestik bruto (PDB).

Langkah-langkah dramatis itu dilakukan untuk segera memulihkan kepercayaan pelaku pasar.Paling tidak,untuk mengerem kepanikan di pasar saham. Dengan dipangkasnya suku bunga, persoalan utama perekonomian AS bukan lagi pada suku bunga tinggi, melainkan anjloknya kepercayaan pasar.

Maklum, ketika suku bunga masih di atas 4%,sebagai refleksi kebijakan uang ketat,terjadi kredit macet.Ketika hal ini menimpa kredit perumahan kelas dua (subprime mortgage), terjadilah respons kepanikan di pasar surat berharga dengan underlyingkredit tersebut.

Padahal, sejatinya subprime mortgageini hanya 15% dari seluruh kredit perumahan (mortgage loans) di AS, yang diperkirakan mencapai USD10 triliun. Masalah ini menjadi kepanikan besar karena subprime mortgagedan derivasinya memang sedang menjadi instrumen yang tumbuh pesat.

Diluarsoalkrisis subprimemortgage, sebenarnya perekonomian AS sedang berada dalam tren positif.Melemahnya dolar AS telah membantu kinerja ekspor sehingga defisit perdagangannya ”hanya”USD352,7 miliar pada semester I 2007.Memang masih ada masalah dengan belanja pemerintah yang membengkak, tetapi situasi fiskal ini dinilai masih di jalur yang benar (on the track).

Pilihan menurunkan suku bunga mencerminkan kebijakan Pemerintah AS yang cenderung memilih ”mengorbankan” inflasi ketimbang membiarkan eskalasi kepanikan subprime mortgageberlanjut dan berkembang liar, yang bisa menjerumuskan seluruh dunia ke jurang resesi ekonomi yang dalam (deep recession).

Inflasi di AS tahun ini diperkirakan akan mencapai 3,5% dengan pertumbuhan ekonomi berkisar 0,5–1,0%. Kendati demikian,komplikasi masalah subprime mortgage tidak berarti sudah selesai secara tuntas.Buktinya, hingga kini imbasnya masih terasa karena sebagian orang percaya, perekonomian dunia masih dibayangi kemungkinan krisis ekonomi yang terutama disebabkan krisis energi.

Implikasi terhadap Indonesia

Memasuki 2008,muncul optimisme perekonomian Indonesia akan stabil atau sedikit membaik dari tahun sebelumnya. Pencapaian target indikator makro ekonomi yang cukup baik menjadi modal berharga.Inflasi relatif moderat, 6,59%.Pertumbuhan ekonomi juga cukup baik,6,35% alias pas banderol!

Ekspor jauh melampaui impor sehingga terjadi surplus yang mendorong lonjakan cadangan devisa yang mencapai USD 57 miliar sebagai rekor baru. BI Rate juga melandai, di level 8%,cukup memberikan kenyamanan bagi perbankan dan sektor riil.Namun, mulai terdengarnya gejolak ekonomi di AS telah menyeret perekonomian dunia ke dalam bayang-bayang resesi.

Harus diakui, terdapat sejumlah indikasi yang menunjukkan kesamaan ciri-ciri,antara situasi sekarang dengan menjelang krisis 1997.Misalnya, derasnya aliran modal asing jangka pendek dari luar negeri (short-term investment) ke negara-negara tertentu yang sedang tumbuh pesat (emerging markets).Hal yang membedakan situasi saat ini dengan 1997 adalah kondisi neraca pembayaran.

Pada 1997, keseimbangan eksternal (external balance) terus didera defisit transaksi berjalan, yakni defisit pada pos ekspor-impor barang dan jasa. Namun kini situasi berbeda.Pada 2007 silam, surplus neraca transaksi berjalan diperkirakan mencapai 1,4% terhadap PDB.Neraca perdagangan juga surplus,terutama karena tingginya harga-harga komoditas primer di pasar dunia.

Bahkan ekspor bulanan mulai mendekati rekor baru USD10 miliar. Cerita indah yang dicapai tahun lalu bisa berantakan apabila pemerintah bersama otoritas pengendali moneter dan fiskal gagal dalam membaca arah gerak dinamika internal dan terutama eksternal.Dan,tantangan eksternal kini telah bergeser dari semula karena tingginya harga minyak dunia menjadi potensi resesi ekonomi global setelah prospek perekonomian AS memburuk. (bersambung)

Implikasi Gejolak Eksternal terhadap Ekonomi RI (2-Habis)

Seputar-Indonesia, 5 Februari 2008

Perlambatan ekonomi global dan Amerika Serikat (AS) dipastikan akan menurunkan permintaan barang-barang impor dari negara-negara tersebut.

Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah dan kalangan eksportir nasional. Dengan tetap menjaga hubungan bilateral Indonesia-AS, untuk sementara waktu eksportir nasional harus berupaya mencari pasar ekspor baru.

Sejauh ini telah ada penjajakan untuk memasuki pasar di negaranegara Eropa Timur dan Tengah serta kawasan Timur Tengah. Boleh jadi permintaan barang-barang impor dari negara-negaraEropa Timurdan Tengah serta kawasan Timur Tengah berbeda dengan AS.Karena itu,para eksportir Indonesia harus mencari produkproduk impor yang dibutuhkan oleh negara-negara importir baru tersebut.

Dalam hal ini dukungan para duta besar Indonesia di negara-negara tersebut sangat dibutuhkan untuk membuka pintu bagi masuknya barang-barang impor dari Indonesia. Para duta besar harus tampil dan piawai sebagai pemasar bagi produkproduk buatan Indonesia.

Para duta besar juga harus andil dalam mempertemukan pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dengan pengurus Kadin di negaranegara tujuan impor. Kalangan pengurus Kadin ini akan saling bertemu untuk bertukar informasi terkait produk-produk impor dan ekspor yang dibutuhkan masing-masing pihak.

Dalam hal ini, upaya menciptakan surplus perdagangan bagi Indonesia tentu harus dilakukan. Semestinya, dengan tingkat kurs rupiah yang cukup moderat saat ini, berkisar Rp9.200–9.400 per dolar AS, produk-produk ekspor Indonesia kompetitif di pasar dunia. Ditambah dengan biaya tenaga kerja yang relatif murah –sebagai keunggulan komparatif Indonesia—tentu produk-produk buatan Indonesia bisa bersaing.

Mungkin hanya dengan China, produk-produk Indonesia dan negaranegara eksportir lainnya kalah.China memiliki keunggulan kompetitif berupa teknologi tepat guna, bukan hanya keunggulan komparatif dalam bentuk tenaga kerja murah. Pemerintah dan kalangan eksportir nasional juga harus mewaspadai gerakan kalangan eksportir dari negara-negara lain, terutama sesama Asia dan lebih-lebih sesama ASEAN.

Jangan sampai semua negara di kawasan Asia, dan lebih spesifik lagi ASEAN, mencari pasar ekspor baru yang sama persis. Kalau hal itu terjadi, tentu akan cepat terjadi kejenuhan di negaranegara tujuan ekspor, sehingga mengancam tingkat kompetisi yang sehat.

Dikhawatirkanakanadaeksportiryang bermain curang dengan melakukan tindakan banting harga atau dumping untuk menguasai pasar ekspor. Yang lebih penting, para eksportir nasional harus terus meningkatkan mutu produk agar dapat bersaing dengan produk ekspor buatan negaranegara lain.

Ketepatan waktu pengirimanbarangjugaharusdiupayakan terus-menerus sehingga eksportir nasional memiliki keunggulan kompetitif. Transaksi pembayaran juga harus diupayakan melalui bank-bank yang memiliki kredibilitas baik. Syukursyukur bank-bank tersebut sudah memilikinamadikancahinternasional.

Karena itu,ada baiknya para eksportir nasional mencari tahu bank-bank yang dipergunakan para importir dalam melakukan transaksi pembayaran. Dengan demikian, para eksportir bisa mengetahui apakah bank-bank yang dijadikan transaksi pembayaran melalui fasilitas letter of credit (L/C) –atau disebut dengan opening bank atau issuing bank— itu memiliki hubungan bank koresponden dengan bank-bank di dalam negeri (confirming bankatau negotiating bank).

Kalangan eksportir juga perlu memikirkan penggunaan mata uang alternatif untuk transaksi pembayaran. Mengingat dolar AS terusmenerus melemah terhadap mata uang tunggal Eropa, euro, barangkali perlu dipikirkan penggunaan euro sebagai alat transaksi pembayaran. Di samping kemungkinan penurunan permintaan produk impor dari sejumlah negara, arus investasi asing diperkirakan juga menurun.

Karena itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) harus pandaipandai mencari cara untuk mendorong investasi asing masuk ke Indonesia. Tentu ini perlu prasyarat yang tidak mudah, yakni iklim investasi yang kondusif. Bukan soal pelayanan satu atap, bukan soal pemberian insentif pajak, tapi lebih kepada kepastian hukum. Maklum, investasi asing di sektor riil bersifat jangka panjang (multiyears), sehingga aspek kepastian hukum menjadi penting.

Akhirnya, menghadapi situasi pasar keuangan lokal dan global yang melemah akhir-akhir ini,dibutuhkan cara pandang dan sikap mental yang cool,calm,and confidence.Sikap panik dan frustrasi justru akan memperburuk keadaan.Pasalnya,situasi akan kembali normal kalau semua pelaku pasar berada dalam satu pandangan yang sama, bahwa turbulensi ini hanya bersifat temporer. (Catatan: tulisan ini merupakan pandangan pribadi)

Ryan Kiryanto Ekonom Senior BNI

Perlambatan ekonomi dunia & perubahan asumsi APBN 2008

Bisnis-Indonesia, 21 Februari 2008

Awal bulan ini, negara-negara maju (G-7) plus Rusia menyelenggarakan pertemuan di Tokyo, Jepang. Pertemuan itu mengikutkan tiga negara outreach, yakni China, Korea Selatan, dan Indonesia.

Nuansa pertemuan G-7 kali ini tentu berbeda dibandingkan dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Kelesuan ekonomi global yang dipicu oleh krisis subprime mortgage di Amerika Serikat sejak pertengahan 2007, melonjaknya harga minyak mentah dunia, dan tingginya harga komoditas dunia menjadi topik utama pertemuan itu.

Krisis subprime mortgage membuat berbagai institusi terkemuka di dunia, seperti Citigroup, Merrill Lynch, dan UBS rontok. Total kerugian, termasuk kredit non-subprime dan penghapusan aset, diperkirakan mencapai US$400 miliar.

Hal menarik yang patut kita cermati dari kasus ini adalah besarnya injeksi dana dari negara di Asia dan Timur Tengah, sehingga menyebabkan perubahan kepemilikan institusi keuangan dunia pascakrisis subprime mortgage.

Kini situasi ketidakseimbangan global menjadi semakin lebar akibat defisit neraca perdagangan AS terhadap China. Kondisi ini terlihat nyata dengan besarnya cadangan devisa China yang meningkat pesat, yakni mencapai US$1.457 triliun.

Krisis di AS dan meningkatnya harga minyak mentah dunia pada akhirnya berdampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi dunia.

Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan melakukan beberapa kali revisi atas proyeksi ekonomi dunia.

Pada April 2007, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini masih 4,9%. Namun, pada Januari 2008 lembaga itu memangkas pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 4,1%.

Pertumbuhan ekonomi AS, negara yang menopang hampir 30% pertumbuhan ekonomi dunia, diproyeksikan IMF tinggal 1,5%. Padahal, pada September 2007 proyeksi IMF atas pertumbuhan ekonomi AS masih 2,9%. Hal yang sama juga terjadi pada Jepang dan Uni Eropa, termasuk negara lainnya, dengan tingkat kecepatan yang berbeda.

Berbagai situasi inilah-yakni ketidakseimbangan global, krisis di AS, melonjaknya harga minyak mentah dunia, dan tingginya harga komoditas-yang menjadi isu sentral dalam pertemuan G-7 plus tersebut. Komunike G-7 pun menyepakati sejumlah rekomendasi yang perlu dilakukan guna menjamin stabilitas dan pertumbuhan ekonomi dunia serta menjaga kestabilan pasar finansial.

Untuk memperkuat kestabilan pasar finansial, misalnya, komunike G-7 menyepakati langkah untuk membatasi pengaruh negatif gejolak pasar keuangan melalui (1) koordinasi bantuan likuiditas, (2) mengidentifikasikan kerugian yang terjadi, (3) mengembalian fungsi pasar keuangan secara normal, dan (4) memperbaiki tingkat transparansi dengan acuan jelas sesuai dengan internasional.

Rekomendasi tersebut penting untuk dicermati, mengingat saat ini kita juga mengalami problem yang sama. Pertanyaannya, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia juga sudah mempersiapkan berbagai langkah antisipasi?

Antisipasi pemerintah

Pemerintah dari jauh hari telah menyadari krisis di AS, tingginya harga minyak mentah dunia, dan meningkatnya harga komoditas pangan dunia, yang cepat atau lambat pasti berimbas pada perekonomian Indonesia.

Pada paruh kedua 2007, pemerintah bahkan melakukan berbagai antisipasi dengan mengadakan exercise atas sejumlah kemungkinan dan skenario, termasuk skenario terburuk yakni bila harga minyak mentah dunia rata-rata dalam satu tahun menembus level US$100 per barel.

Pemerintah menyiapkan sembilan langkah antisipasi untuk menyelamatkan APBN yang disampaikan ke publik pada kuartal ketiga 2007.

Selain itu, pemerintah melakukan segala mekanisme seperti yang direkomendasikan G-7. Pertama, pemerintah sudah memiliki instrumen pemantauan dini dan survailance yang terus memberikan warning kepada para pengambil keputusan tentang perekonomian yang telah dan akan terjadi di Indonesia dengan segala antisipasinya.

Kedua, pemerintah memiliki komitmen tinggi untuk meningkatkan peringkat utangnya (soverign rating). Hasilnya, pada 14 Februari 2008, Fitch Rating menaikkan peringkat Indonesia dari BB- menjadi BB.

Hal ini merupakan sinyal positif, di mana di tengah ancaman resesi dunia ternyata terjadi peningkatan rating Indonesia. Dengan meningkatnya rating tersebut tentu akan meminimalkan cost of borrowing.

Ketiga, pemerintah secara aktif mengadakan diskusi dengan para analis. Hal ini untuk mendapatkan masukan dari para analis dan pelaku pasar mengenai pandangan mereka terhadap outlook perekonomian global dan Indonesia, sehingga diperoleh benchmark dalam menentukan besaran-besaran asumsi makro.

Keempat, peningkatan koordinasi dengan Bank Indonesia dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi. Koordinasi ini menunjukkan hasil yang semakin positif dengan dibentuknya Forum Stabilitas Sektor Keuangan (FSSK). Forum ini bertugas memantau dan mengantisipasi krisis di sektor keuangan.

Sebagai langkah antisipatif terhadap perlambatan ekonomi global dan kenaikan harga minyak mentah dunia, pemerintah berinisiatif mengadakan perubahan terhadap asumsi makro APBN 2008. Perubahan asumsi ini tentu akan mengubah keseluruhan pos dalam APBN 2008.

Maka mungkin akan muncul pertanyaan mengapa perubahan itu harus dilakukan sekarang? Bukankah APBN 2008 baru berjalan dua bulan?

Pemerintah memandang perlu perubahan APBN dilakukan sekarang, sebab bila tidak dikhawatirkan akan mengganggu pelaksanaan APBN 2008 dan tidak dapat menampung segala perubahan yang terjadi. Hal ini mengingat asumsi ekonomi makro dalam APBN 2008 sulit dipertahankan.

Bila tetap dipertahankan, kredibilitas APBN 2008 justru akan dipertanyakan, defisit anggaran akan meningkat tinggi dan tidak dapat dibiayai, serta program kebijakan stabilisasi harga pangan tidak dapat dilaksanakan secara penuh. Dengan berbagai pertimbangan inilah, pemerintah memutuskan untuk mempercepat perubahan APBN 2008.

Di bawah ini beberapa perubahan asumsi makro dalam APBN 2008. Pertama, pertumbuhan ekonomi diubah dari 6,8% menjadi 6,4%. Hal ini di antaranya menyesuaikan dengan dampak perlambatan ekonomi dan perdagangan dunia.

Kedua, inflasi diubah dari 6% menjadi 6,5% mengingat tingginya harga komoditas, sehingga risiko inflasi akan meningkat. Dengan kebijakan stabilisasi harga pangan dan penguatan kurs, diharapkan akan dapat mengurangi risiko inflasi.

Ketiga, kurs rupiah diubah dari Rp9.100/US$ menjadi Rp9.150/US$. Walaupun kurs saat ini berada di sekitar Rp9.200/US$, kita optimistis penguatan kurs rupiah dapat dicapai dengan pengelolaan cadangan devisa yang baik.

Keempat, BI Rate tetap 7,5%, meskipun terdapat peluang penurunan akibat penurunan suku bunga The Fed.

Kelima, asumsi harga minyak mentah dalam APBN 2008 diubah dari US$60 per barel menjadi US$83 per barel. Angka ini menyesuaikan dengan perkembangan harga minyak mentah dunia.

Keenam, lifting minyak dari 1,034 juta barel per hari menjadi 0,910 juta barel per hari. Meski ditetapkan rendah, pemerintah tetap berupaya agar lifting dapat lebih ditingkatkan.

Dalam rangka meningkatkan lifting minyak, pemerintah akan memberikan insentif fiskal di antaranya berupa pembebasan bea masuk dan PPN atas peralatan eksplorasi dan eksploitasi migas.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah telah melakukan berbagai langkah untuk mengantisipasi situasi global yang kurang menguntungkan. Persoalannya, bagaimana kita memanfaatkan secara optimal segala instrumen yang ada, sehingga kita dapat mengelola segala sesuatu secara optimal.

Pemerintah memang telah mengoreksi pertumbuhan dari 6,8% menjadi 6,4%. Namun, dengan peningkatan kualitas pertumbuhan, tujuan pemerintah mengurangi pengangguran dan kemiskinan dapat direaliasasi. Akhirnya dukungan dari berbagai pihak diperlukan untuk mensukseskan berbagai sasaran tersebut.

Posted in Feb 2008

INFLASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

Ditulis oleh M. Sadli

Sebagai gejala historis maka tingkat inflasi di Indonesia lebih tinggi daripada di negara tetangga ASEAN seperti Thailand dan Malaysia. Mengapa? Dan Apakah ini menguntungkan kehidupan serta pembangunan ekonomi? Pada umumnya tidak. Kinerja ekonomi dan laju pertumbuhan PDB di Thailand dan Malaysia lebih tinggi daripada di Indonesia. Di Asia Tenggara Indonesia lebih mirip Filipina. Inflasi di Filipina juga lebih tinggi (sedikit) daripada di Thailand dan Malaysia, dan laju pertumbuhan ekonomi Filipina juga di bawah Thailand dan Malaysia. Kinerja ekonomi mana lebih baik, di Indonesia atau di Filipina? Ini agak susah dijawab. Mungkin Filipina lebih baik sedikit. Filipina sesudah perang dunia kedua sudah mempunyai pendapatan per kapita yang lebih tinggi daripada kebanyakan negara ASEAN, akan tetapi sesudah itu di lampaui oleh Thailand dan Malaysia.

Sekarang pendapatan orang di Filipina mungkin masih lebih tinggi sedikit daripada di Indonesia, akan tetapi perbedaannya tidak banyak. Filipina sering disebut “the sick man of Asia”, dan akar penyakitnya ada di struktur sosialnya. Tetapi struktur sosial di Indonesia lain daripada di Filipina, yang dikuasai oleh sekelompok tuan tanah yang besar, antara lain keluarga Presiden. Mungkin kelebihan di Malaysia dan Thailand (dibandingkan Indonesia) adalah peran unsur penduduk Tionghoanya di perekonomiannya lebih besar.

Di Indonesia penduduk etnis Tionghoa juga menguasai ekonomi tetapi tidak punya pengaruh politik. Di Indonesia politik ada di tangan penduduk golongan pribumi yang mayoritas. Mungkin perbedaan ini menyebabkan kualitas politik ekonomi di Indonesia lain daripada di Thailand dan Malaysia. Maka mungkin juga akar inflasi yang tinggi ada di keadaan sosial-politik ini. Golongan pribumi adalah mayoritas akan tetapi yang berpendapatannya lebih rendah, Salah suatu ciri orang miskin adalah punya nafsu mengkonsumsi lebih banyak dibandingkan pendapatan riilnya. Kalau masyarakat mau mengeluarkan uang lebih banyak daripada nilai produksinya maka harga-harga akan naik. Inilah sumber inflasi di Indonesia.

Inflasi di Indonesia di zaman Suharto pun lebih tinggi daripada di Malaysia dan Thailand, walaupun tingkat inflasi di zaman Suharto sudah jauh lebih rendah daripada di zaman Bung Karno. Itu akibat perubahan policy dari team ekonomi yang dikendalikan oleh Prof. Widjojo dan Ali Wardhana. Mereka berhasil mengurangi inflasi yang sebelumnya ratusan persen setahun dan merupakan runaway inflation. Senjatanmya adalah balanced budget, anggaran pemerintah yang berimbang. Rumus ini cukup berhasil.

Di zaman Orde Baru itu maka belum ada ketentuan bahwa Bank Indonesia mempunyai misi utama menjaga nilai rupiah, alias pengekangan inflasi. Baru setelah Reformasi tahun 1998 ketentuan demikian dituangkan dalam undang-undang yang menjaga independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Ini banyak membantu untuk mengurangi inflasi. Apakah lalu kebijakan anggaran belanja pemerintah menjadi sumber inflasi? In prinsip, tidak. Karena prinsip anggaran belanja yang berimbang masih dipertahankan. Akan tetapi, dalam praktek ini belum merupakan jaminan. APBN yang meningkat, walaupun tetap berimbang, dampaknya inflator. Prinsip anggaran berimbang tidak boleh dipegang terlalu kaku. Misalnya, akhir tahun 2005 ada kelebihan penerimaan besar karena sebagian subsidi BBM dihapus. Jumlah ini lalu “dipaksakan” menjadi pengeluaran pemerintah atas nama anggaran yang berimbang. Policy demikian ikut meniup inflasi.

Sebetulnya anggaran belanja pemerintah harus diperbolehkan mengumpulkan surplus yang dampaknya akan deflator. Akan tetapi, selalu ada tekanan dari masyarakat agar pemerintah mengeluarkan uang lebih banyak untuk pembangunan, atau untuk membantu sektor pendidikan dan kesehatan. Di sinilah pemerintah terjebak “gejala orang miskin” yang selalu mau hidup di atas kemampuan penghasilannya. Idée fix masyarakat adalah kalau pemerintah meningkatkan pengeluaranya untuk pembangunan maka laju pertumbuhan ekonomi akan naik. Ini salah pikir. Yang lebih menentukan tingkat laju pertumbuhan ekonomi adalah total investasi di masyarakat, termasuk dari swasta dalam dan luar negeri. Jumlah ini tidak akan optimal kalau iklim moneternya serba inflator, yang mengganggu stabilitas ekonomi dan menambah resiko.

Kemakmuran yang dibawa oleh inflasi adalah semu. Orang merasa lebih kaya oleh karena pegang uang lebih banyak. Akan tetapi nilai uang merosot sehingga akhirnya orang atau masyarakat itu menjadi lebih miskin.

11/10/08 16:04

"Sakit Finansial" Mendunia, Indonesia Tidak Sendiri

Oleh Suryanto

Jakarta (ANTARA News) - Kerusakan sistem finansial AS yang bermula dari keruwetan masalah kredit perumahan, telah mewabah ke berbagai negara di belahan dunia melalui pasar modal, uang, dan komoditas sebagai indikator utama perekonomian.

Hampir seluruh saham di belahan dunia harganya jatuh, tidak terkecuali di Bursa Efek Indonesia (BEI), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh setelah bersusah payah mencapai "recovery" sejak terjerembab akibat krisis moneter Asia 1997 hingga 1999 lalu.

Seolah krisis keuangan kedua yang diramalkan sebagian ekonom beberapa waktu lalu terjadi pada bulan ini. IHSG BEI yang sempat bertengger di atas 2.000 poin pada Agustus, berangsur melemah seperti tidak bisa ditahan.

Hingga menjelang libur panjang Idul Fitri 26 September lalu, IHSG masih berada di atas level 1.800 poin sebelum jatuh dan otoritas bursa (Departemen Keuangan c.q. Bapepam/LK) mengambil langkah penghentian sementara perdagangan (suspend) pada sesi kedua Rabu (8/10) lalu.

Sempat terjadi tarik ulur antara penantian pasar dengan pembahasan program bailout (dana talangan) 700 miliar dolar AS untuk American International Group (AIG) di parlemen AS. Program dana talangan bagi raksasa perusahaan keuangan AS pun disetujui setelah Presiden Bush sedikit menekan.

Ketika terjadi tarik ulur, pasar pun dilanda kebingungan sehingga saham di Wall Street, Eropa, maupun Asia Pasifik ditutup bervariasi (mixed). Tidak lama setelah itu, harapan akan pulihnya pasar setelah bailout disetujui dan ditandatangani Bush, ternyata berubah menjadi "malapetaka".

Penyelamatan oleh pemerintahan Bush ternyata tidak mampu mendinginkan pasar yang terlanjur percaya pemulihan butuh waktu meski bailout sudah dilakukan. Indeks saham, nilai tukar, dan harga komoditas- kecuali emas-, berjatuhan, pasar dunia dilanda kepanikan.

IHSG BEI lagi-lagi terancam ketika semua melihat saham Wall Street, Eropa, dan Asia jatuh. Otoritas bursa Indonesia kembali mengumumkan penutupan sementara transaksi di BEI pada 9 Oktober setelah pada perdagangan terakhir sebelumnya IHSG jatuh hingga ke posisi 1.451,669.

Pengumuman bahwa otoritas bursa akan membuka kembali perdagangan efek di BEI pada Jumat (10/10), batal dilaksanakan dengan alasan pemerintah masih mengevaluasi perkembangan dampak memburuknya pasar saham regional dan internasional.

Di pasar uang Jakarta, meski Bank Indonesia dikatakan telah melakukan intervensi, namun rupiah terus melemah terhadap dolar AS. Pada perdangan Jumat kemarin, nilai tukar rupiah turun tajam 265 poin menjadi Rp9.860/9.970 per dolar AS dibanding penutupan hari sebelumnya Rp9.595/9.627.

Lima langkah penyelamatan dampak krisis AS pun diumumkan pemerintah Indonesia, pertama upaya mark to market, meninjau aturan pembelian kembali (buy back) saham perusahaan publik, kemudian membeli kembali saham-saham BUMN, meningkatkan likuiditas APBN melalui pencairan anggaran kementerian dan lembaga, serta penegakan hukum pasar modal.

Berbagai komentar, kritik, dan analisa atas langkah itu pun berdatangan. Sebagian ekonom menyatakan keputusan "buka-tutup" perdagangan saham di BEI dinilai sebagai ketidaksiapan pemerintah menghadapi gejolak pasar. Pemerintah dianggap belum mengambil langkah yang bisa menumbuhkan kepercayaan pasar, tetapi sebaliknya justru membingungkan.

Yang menjadi pertanyaan besar lain, kenapa pemerintah tiba-tiba membentuk satuan tugas (task force) melibatkan Polri, Depkeu, dan Kejaksaan Agung, untuk menindak tegas pelanggaran pasar modal? Apakah ini sinyal adanya pihak-pihak yang melakukan pelanggaran hukum dalam aktivitasnya di pasar modal Indonesia, BEI? Ini seolah memposisikan pemerintah "menantang" pelaku pasar, dan bukan merangkul.

Kalau pun indikasi itu benar, kenapa tidak dilakukan secara diam-diam dulu dan mengumumkannya setelah memperoleh bukti dan menindaknya. Apakah ini hanya sebagai "gertakan" bagi mereka yang sering mengejar keuntungan pribadi dan mengabaikan hukum serta "keselamatan" banyak orang?

Tidak Sendiri

Apa pun itu, Indonesia tidak lah sendiri dalam menghadapi gejolak finansial dunia yang dipicu kondisi di AS itu. Bahkan, dari sisi dampak masih perlu diukur apakah Indonesia lebih parah dari negara lain yang tergolong maju sekali pun, masih perdebatan.

Sebagaimana dilaporkan berbagai media massa besar dunia, krisis keuangan AS telah mempengaruhi tatanan sistem keuangan berbagai negara di benua Amerika sendiri, Eropa, Asia Pasifik, Asia Selatan, bahkan Timur Tengah.

Di Amerika misalnya, presiden Felipe Calderon mengalokasikan 4,4 miliar dolar bagi proyek-proyek energi dan infrastruktur untuk mendorong perekonomian. Bank sentral negara itu bahkan juga menyisihkan 2,5 miliar dolar cadangan devisa untuk mengatasi kejatuhan peso.

Di AS, negeri sumber masalah itu, Treasury Secretary Henry Paulson mengingatkan bahwa sejumlah bank akan gagal ditengah upaya penyelamatan dengan dana talangan 700 miliar dolar untuk memperbaiki sistem finansial keuangan.

Beralih ke Asia Pasifik, bank sentral Australia telah memangkas suku bunga utama dari 7% menjadi 6%, melebihi penurunan yang sudah diperkirakan. Pengamat telah mengira pemangkasan suku bunga hanya 0,5 poin untuk menekan inflasi.

Cina yang disebut-sebut sebagai yang lebih kuat menghadapi situasi ini, juga memotong suku bunga 0,27 persen poin.

Negara kuat Asia lain, Jepang, juga menyerukan segera dilakukan penyelamatan untuk meredam gejolak. Perdana menterinya Taro Aso mengatakan ia akan meminta sebuah pertemuan darurat G8 apabila dalam pertemuan menteri-menteri keuangan negara maju di Washington (Jumat waktu setempat) tidak menghasilkan kesepakatan untuk mengatasi krisis kredit.

Dia juga mengatakan tindakan lebih harus diambil untuk mendukung pemulihan ekonomi, meski setelah parlemen menyetujui 1,8 triliun yen sebagai rencana stimulan dan bank sental Jepang menaruh 4,5 triliun yen ke sistem perbankan.

Selanjutnya bank sentral Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan yang telah menjadi anggota negara-negara yang sedang tumbuh, juga akan memangkas suku bunga mereka.

Negara-negara Eropa yang diharapkan menjadi kekuatan pembanding bagi AS sejak diberlakukannya mata uang tunggal euro, juga sibuk dengan upaya-upaya mengurangi dampak dari krisis itu.

Pejabat pemerintah Austria mengumumkan sebuah program penjaminan kepada seluruh dana simpanan masyarakat di bank, diberlakukan kembali mulai 1 Oktober ini. Disusul pemerintah Belgia yang menyetujui untuk menjamin dana simpanan di bank yang nilainya di atas 100.000 euro (136 ribu dolar), sebuah kenaikan sebesar 80.000 euro.

Bank terbesar Belgia, Fortis, membutuhkan intervensi pemerintah Belanda dan Belgia dengan menjual sebagian asetnya kepada Raksasa keuangan Perancis, BNP Paribas.

Langkah lebih radikal diambil Denmark. Parlemen negara ini menyetujui usulan pemerintah untuk memberikan jaminan tidak terbatas bagi simpanan pihak ketiga di bank, langkah serupa diambil Mesir, Irlandia, dan Hungaria. Hungaria menyediakan jaminan bagi simpanan di bank senilai 13 juta forint (67.000 dolar), naik dari sebelumnya yang hanya 6 juta forint.

Di Jerman. Perusahaan pembiayaan perumahan terbesar di negara itu, Hypo Real Estate, telah terancam bangkrut minggu lalu setelah terjebak oleh kredit macet dalam jumlah besar. Perusahaan itu selamat setelah penyelamatan yang disponsori pemerintah dilakukan.

Di Islandia, otoritas setempat memutuskan untuk mengambilalih bank terbesar, Kaupthing, pengambilalihan ketiga dalam beberapa hari terakhir setelah sebelumnya menasionalisasi dua bank terbesar lainnya, Landsbanki dan Glitni. Dalam negoisasi dengan Rusia untuk mendukung sistem perbankan Islandia, Moscow telah mencairkan 5 miliar dolar dana bantuan darurat sehingga pemerintah menjadi pengendali bank-bank papan atas itu.

Tidak hanya negara-negara yang memang rentan goncangan, Italia juga mengambilalih saham bank lokal yang terkena dampak krisis. Pemerintah Belanda akan menyisihkan 20 miliar euro untuk melindungi sektor keuangan mereka dan menjamin simpanan di bank sampai 100.000 euro sama dengan yang dilakukan Spanyol.

Di Rusia, parlemen rendah negara itu, the State Duma, mengeluarkan kebijakan memberi 1,3 triliun rouble (50 miliar dolar) kepada lembaga negara Bank of Development and Foreign Economic Activities untuk membantu bank penanaman modal asing di Rusia. Rusia juga menghentikan perdagangan di dua bursa saham utama setempat setelah harga saham jatuh.

Lalu di salah satu "raksasa" Eropa, Inggris, pemerintah mengumumkan paket bantuan 50 miliar poundsterling (88 miliar dolar) bagi beberapa bank dan perusahaan perumahan besar. Sebagai imbalannya, pemerintah akan menerima saham-saham di perusahaan-perusahaan itu. Pemerintah juga mengumumkan angka pengangguran akan meningkat 350 ribu tahun depan.

Di benua Timur Tengah, saham-saham di negara-negara Arab mengalami kejatuhan terbesar dalam tahun ini akibat kekhawatiran melemahnya bisnis perumahan di Dubai dan tekanan pasar global.

Negara di Asia selatan, India, juga terpaksa menyuntikkan 600 miliar rupe (12,2 miliar dolar) ke pasar uang setelah penurunan tajam harga saham di bursa efek Mumbai dan jatuhnya nilai tukar rupe ke level terendah sepanjang sejarah. (*)

Kamis, 2008 Oktober 16

Mengamankan Sektor Riil

Kamis, 16 Oktober 2008 | 00:28 WIB

Paceklik ekonomi yang dicemaskan itu sesungguhnya sudah mulai merasuki Amerika Serikat. Dua hari lalu Presiden San Francisco Federal Reserve Bank Janet L. Yellen memastikannya. Berpidato di forum Financial Executive International di Palo Alto, California, dia mengatakan selama triwulan ketiga yang baru lewat boleh dibilang tak ada pertumbuhan sama sekali, dan keadaan yang lebih buruk akan terjadi. Resesi sudah di depan mata.

Resesi berarti ekonomi menciut--kegiatan produksi dan konsumsi menurun signifikan. Kecemasan inilah yang menimbulkan sentimen negatif di Wall Street, sekalipun pemerintah telah berinisiatif menggelontorkan US$ 250 miliar buat menyelamatkan bank-bank. Salah satu gejala resesi adalah terus bertambahnya warga Amerika yang hidup dengan tunjangan kupon makan: lebih dari 29 juta orang sepanjang dua triwulan yang lalu, dan diperkirakan angkanya terus membengkak.

Indonesia sudah pasti terpapar pada efek langsung maupun reperkusi dari perekonomian Amerika, juga dunia, yang memburuk. Permintaan produk ekspor utama kita sudah bergerak turun. Tekstil dan produk tekstil, misalnya, yang dari Jawa Tengah saja sejauh ini sudah turun 40 persen. Banyak perusahaan di berbagai bidang kini juga mulai merevisi target penjualan dan labanya.

Pemerintah memang telah menjalankan langkah-langkah untuk menangkal dampak mengerutnya ekonomi Amerika. Tapi semua itu lebih berguna untuk mengamankan sektor finansial, menjamin likuiditas perbankan, dan menyelamatkan bursa saham. Yang belum terlihat adalah tindakan untuk mencegah hantaman gelombang kelesuan di sektor riil--kegiatan produksi dan distribusi barang serta jasa di luar sektor finansial.

Langkah itu, dalam jangka pendek, tak terelakkan demi membuka ruang bagi tumbuhnya konsumsi di dalam negeri. Ruang yang lebih lega minimal bisa mengkompensasi penyusutan volume ekspor.

Masalahnya, pertumbuhan konsumsi menuntut daya beli yang cukup. Dengan laju inflasi yang relatif tinggi, syarat ini sulit dipenuhi. Mengingat sebagian penyebab inflasi berkaitan dengan hambatan struktural dan kemampuan manajemen pemerintah, yang mengganggu pasokan komoditas yang tergolong dalam biaya hidup, tak bisa tidak pemerintah mesti mengerahkan segala dayanya untuk membenahi hambatan itu. Tanpa hal ini, kebijakan suku bunga tinggi yang dijalankan oleh Bank Indonesia akan sia-sia. Dan dalam situasi sekarang ini pun sebenarnya lebih dibutuhkan kebijakan moneter yang longgar.

Untuk keperluan jangka panjang, pekerjaan pemerintah jauh lebih pelik karena semuanya bersifat struktural, dan sama sekali tak bisa hanya berhenti di pernyataan “meminimalkan korupsi dan mengefisienkan birokrasi”. Tapi tak satu pun yang bisa dikecualikan demi iklim usaha yang lebih kompetitif. Diversifikasi tujuan ekspor juga merupakan keniscayaan. Semua itu seperti meletakkan fondasi untuk mendirikan bangunan yang kukuh, yang bisa mengelakkan kita dari kecemasan setiap kali ada terpaan badai dari luar.

Menghadapi Resesi Ekonomi Dunia

Analisis

Oleh: Umar Juoro

Hampir dapat dipastikan, perekonomian AS dan dunia pada umumnya akan mengalami resesi sebagai akibat berkelanjutan dari krisis finansial AS yang dipicu oleh permasalahan KPR berkualitas rendah (subrpime mortgage). Resesi didefinisikan sebagai pertumbuhan ekonomi negatif selama dua triwulan berturut-turut. Krisis ekonomi AS diperarah oleh kompleksnya transaksi keuangan derivatif serta melemahnya kepercayaan antarlembaga keuangan dan antarlembaga keuangan dengan nasabahnya.

Akibatnya, terjadi pengetatan kredit (Icredit crunch) yang mempersulit perbankan, perusahaan, dan bahkan rumah tangga untuk mendapatkan dana pinjaman. Bagi lembaga keuangan yang mempunyai dana cukup, tidak bersedia memberikan pinjaman karena khawatir tidak akan dapat dikembalikan. Akibatnya, bukan hanya sektor keuangan, tetapi sektor riil dan rumah tangga terpengaruh oleh krisis tersebut. Karena itu, kecenderungannya adalah baik institusi maupun perorangan mengalihkan dananya dalam bentuk tunai atau surat berharga Pemerintah AS yang dianggap aman atau emas. Hal ini menyebabkan semakin menguatnya nilai dolar AS sekalipun fundamental ekonominya melemah.

Krisis ekonomi tersebut meluas ke Eropa dan juga berpengaruh ke Asia, termasuk Indonesia. Menghadapi krisis ini, dapat dikatakan tidak ada ideologi lagi, bahkan bagi pemerintahan yang memuja pasar bebas, seperti di AS yang diikuti oleh Jerman, Inggris, dan Prancis serta negara lain dengan melakukan intervensi besar-besaran dalam bentuk bantuan likuiditas, menyuntikkan modal, dan mengambil alih bank yang bermasalah. Langkah ini pun masih belum mencukupi sebagaimana yang terlihat dari terus melemahnya indeks pasar modal di AS, Eropa, dan Asia, bahkan menular ke Indonesia. Permasalahan psikologis pelaku ekonomi yang cenderung panik, tidak percaya kepada lembaga keuangan formal, menyulitkan penyelesaian permasalahan dengan cara-cara konvensional.

Pengaruh yang dialami Indonesia sangat terasa pada pasar modal yang indeksnya mengalami penurunan sekitar 45 persen sejak awal tahun. Dengan keluarnya pemodal asing dari pasar modal Indonesia, nilai rupiah pun mengalami pelemahan sekitar 8 persen sejak awal tahun dan melampaui batas psikologis Rp 10.000. Pelemahan nilai rupiah ini sebenarya tidak seburuk yang dialami negara lain. Dengan resesi ekonomi dunia, ekspor juga akan mengalami penurunan, demikian pula investasi. Harga komoditas yang merupakan ekspor utama Indonesia, seperti CPO dan batu bara, mengalami penurunan. Demikian pula, investasi yang bahkan sudah disepakati akan mengalami penundaan.

Kegiatan ekonomi domestik sangat dipengaruhi oleh keadaan perbankan nasional. Sebenarnya, perbankan Indonesia pada umumnya adalah sehat, baik dilihat dari profitabilitas, dana, maupun kecukupan modal. Namun, ketatnya likuiditas seiring dengan tumbuh tingginya kredit perbankan memberikan gangguan terhadap sistem perbankan. Pertumbuhan kredit terlampau tinggi melebihi 30 persen yang tidak sejalan dengan pertumbuhan penghimpunan dana pihak ketiga.

Pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan memberikan jaminan asuransi bagi deposito sampai dengan Rp 2 miliar dengan bunga 10 persen yang telah mencakup sekitar 60 persen dari total dana di perbankan. BI juga telah memberikan berbagai fasilitas, seperti repo (penggadaian surat utang negara kepada BI untuk mendapatkan dana), menurunkan Giro Wajib Minimun, dan beberapa langkah lainnya.

Namun langkah-langkah tersebut masih belum efektif mengurangi ketatnya likuiditas perbankan. Tambahan lagi perbankan cenderung tidak memberikan kredit baru, dan memnita kolateral yang lebih besar, termasuk dalam penerbitan LC untuk eksportir dan importir. Apalagi, negara tetangga Singapura dan Malaysia telah memberikan perlindungan sepenuhya kepada deposito perbankan. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya krisis perbankan yang akan merusak perekonomian seperti pada 1998, sudah saatnya pemerintah memberikan jaminan deposito secara menyeluruh terhadap dana di perbankan. Hal ini penting dilakukan untuk memberikan kepastian kepada perbankan dan nasabahnya.

Karena, kemungkinan krisis perbankan dari sisi internal relatif kecil maka risiko pemberian jaminan penuh terhadap deposito ini dapat dikendalikan. Langkah ini juga akan mengurangi persaingan tidak sehat antarperbankan untuk menghimpun deposito dan mempertahankan kepercayaan sesama perbankan.Permasalahan yang semestinya bisa diselsaikan secara bisnis rasional, seperti Bank Indover dan kewajiban Bumi Resources, harus dilakukan segera. Jangan sampai permasalahan ini memberikan alasan tambahan bagi investor untuk semakin menekan pasar modal dan nilai rupiah.

Tentu saja tidak fair jika pemerintah tidak mengembangkan kebijakan untuk mendukung sektor riil dan kepada masyarakat terutama yang rentan terhadap kehilangan kesempatan kerja. Karena, kebijakan itu akan membantu sektor riil yang terpukul, terutama petani penghasil komoditas seperti kelapa sawit, pertanian pangan yang mempekerjakan banyak tenaga kerja, serta industri manufaktur yang belakangan ini semakin tertekan. Pengembangan ekonomi dalam negeri, antara lain dengan subsitusi produk impor, akan menurunkan tekanan pada nilai rupiah dan membuka peluang yang lebih besar di dalam negeri. Selanjutnya, perekonomian Indonesia dapat lebih siap mengambil manfaat pada saat perekonomian dunia pulih kembali.

Dampak Krisis Terhadap Sektor Riil

Oleh: Iman Sugema

Ada persepsi yang kuat di kalangan pemerintahan bahwa krisis finansial global tidak akan terlalu berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Alasannya adalah fundamental ekonomi kita kuat dan sektor perbankan tidaklah serentan 10 tahun yang lalu. Selain itu, episentrum krisis berada jauh dari kita.

Saya agak kurang paham mengenai landasan teoretis argumen tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa kita sering gagal untuk mendefinisikan fundamental ekonomi yang relevan untuk menangkis krisis. Krisis finansial global tak bisa ditangkis dengan pertumbuhan ekonomi, suku bunga, ataupun inflasi. Negara-negara yang memiliki kinerja ekonomi yang baik, seperti Korea dan Cina juga mengalami imbas yang lebih parah dibandingkan kita.

Selain itu, kerentanan juga bisa timbul oleh kenyataan bahwa sektor perbankan, asuransi, dan pasar modal didominasi oleh pelaku asing. Mereka sekarang sedang mengalami kesulitan di negaranya masing-masing dan tidak ada jaminan bahwa masalah mereka sebagian dialihkan ke Indonesia. Caranya, yaitu dengan menyedot likuiditas dari Indonesia untuk menutupi cash flow perusahaan induk.

Yang menjadi perhatian kita sekarang ini seharusnya tidak hanya sebatas kebijakan di sektor keuangan. Sektor riil juga harus kita amankan karena dampak negatifnya sudah mulai terasa. Antisipasi dampak di sektor riil menjadi sangat penting karena sebagian besar negara maju telah betul-betul merasakannya dengan cukup jelas.

Dampak terhadap sektor riil domestik dapat diidentifikasi melalui dua saluran. Saluran yang pertama adalah kenyataan bahwa sektor riil domestik terhubung secara langsung dengan sektor riil internasional. Kedua, sektor riil domestik juga terhubung dengan sektor finansial domestik dan internasional. Kita lihat satu per satu.

Sektor riil domestik dan internasional terhubung secara langsung melalui aktivitas ekspor dan impor. Karena sebagian besar negara maju mulai mengalami resesi, otomatis permintaan ekspor komoditas Indonesia akan berkurang. Negara-negara OECD memiliki pangsa sekitar 60 persen terhadap GDP dunia. Adalah sulit untuk membayangkan bahwa resesi yang mereka alami tidak akan mengganggu kita. Memang bisa dicari alternatif pasar. Tetapi, jelas tidak ada pasar yang mampu menggantikan peran mereka. Mereka terlalu besar untuk digantikan. Bahkan, semua negara tentunya akan melakukan hal yang sama, yaitu semaksimal mungkin mengalihkan ekspor ke negara mana pun yang mungkin. Karena itu, kita mungkin akan menghadapi persaingan yang lebih keras di pasar ekspor nontradisional. Bahkan, pasar domestik akan dibanjiri oleh produk-produk impor dari Cina dan Vietnam.

Masalahnya adalah kita telah memberlakukan pasar bebas dengan Cina sehingga tidak lagi bisa dengan mudah memberikan proteksi terhadap produk nasional. Inilah buah dari liberalisasi yang ugal-ugalan.

Dalam kenyataannya, perusahaan eksportir kita telah merasakan sebagian dampak negatif krisis sejak beberapa bulan yang lalu. Sebagian besar order ekspor telah mengalami pengurangan. Beberapa produsen tekstil belum menerima order untuk delivery tahun depan. Pembatalan order juga semakin sering terjadi.

Dampak negatif berikutnya bisa diidentifikasi melalui saluran finansial dan tampaknya justru akan membawa implikasi yang jauh lebih serius. Memang, mereka yang hanya percaya terhadap teori real business cycle tentunya tidak akan menganggap saluran ini begitu penting.

Mereka hanya percaya pada doktrin Modigliani, yakni finance is a veil yang berarti bahwa yang paling penting adalah sektor riil dan kejadian apa pun di sektor finansial tidak akan memiliki implikasi apa-apa terhadap sektor riil. Sebaliknya, aliran New-Keynesian justru percaya bahwa krisis di sektor riil bisa dipicu oleh situasi yang buruk di sektor finansial. Perkembangan yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa hipotesis New-Keynesian lebih mendekati kenyataan dan diindikasikan dengan hal-hal berikut ini.

Pertama, sebagaimana telah terjadi terhadap Grup Bakrie dan beberapa grup bisnis lainnya, ternyata anjloknya harga saham telah ikut menurunkan akses mereka terhadap kredit dan pasar modal. Ketika harga saham turun, net worth mereka otomatis juga turun sehingga credit-worthiness perusahaan-perusahaan mereka juga melemah. Pada gilirannya, mereka akan mengalami kesulitan untuk melakukan roll over dan refinancing untuk kredit yang telah jatuh tempo. Beberapa kreditor bahkan memutuskan untuk tidak melanjutkan pembiayaan berbagai proyek yang sudah berlangsung selama setahun terakhir ini. Kita akan menyaksikan banyak proyek yang tidak diselesaikan di tengah jalan karena kesulitan pembiayaan.

Kedua, volatilitas di pasar keuangan juga akan meningkatkan persepsi risiko. Akibatnya, perusahaan mejadi lebih sulit untuk mencari dana atau kalaupun ada dana harganya lebih mahal. Bahkan, JP Morgan Chase merekomendasikan bahwa obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia sebaiknya dihindari. Penilaian ini jelas membuktikan bahwa pemerintah sekalipun akan mengalami kesulitan dalam pembiayaan defisit. Dunia usaha tentunya akan menghadapi kesulitan yang jauh lebih parah.

Ketiga, kesulitan likuiditas perbankan dalam beberapa minggu terakhir ini mulai terasa oleh sektor riil. Kredit menjadi lebih sulit untuk diperoleh. Dunia usaha mulai mengeluhkan bahwa kredit yang telah disetujui oleh bank, tiba-tiba dibatalkan secara sepihak. Hal itu kini lebih sering terjadi, terutama terhadap UKM yang memang bukan prime customer bagi perbankan. Dengan lebih seretnya kredit, ekspansi dunia usaha pada tahun 2009 mungkin akan terhambat. Pertumbuhan investasi akan mengalami koreksi habis-habisan.

Sebagai penutup, mungkin sudah saatnya bagi kita untuk menyadari bahwa sangat sulit untuk menghindar dari krisis finansial global. Kita sebaiknya mulai mengatur strategi agar pengaruhnya terhadap sektor riil bisa diminimalisasi.

Krisis Tingkatkan Pengangguran

HTI-Press. Ketua organisasi buruh internasional (ILO) mengatakan krisis finansial yang terjadi sekarang bisa menyebabkan peningkatan angka pengangguran.

Ketua ILO Huan Somavia mengatakan akhir tahun ini angka pengangguran di seluruh dunia bisa naik 20 juta dari tahun lalu.

Wartawan BBC Imogen Foulkes melaporkan ribuan orang yang bekerja di sektor keuangan sudah kehilangan pekerjaan mereka, namun ketua ILO mengatakan angka itu hanya sedikit dari angka sebenarnya.

Huan Somavia mengatakan di saat pasar lesu dan harga properti turun jutaan pekerja di sektor konstruksi, reall estat, pariwisata dan industri otomotif akan kehilangan pekerjaan.

Angka penggangguran global saat ini mencapai 190 juta, ILO memperkirakan angka itu bertambah 20 juta akibat krisis keuangan yang terjadi saat ini.

ILO juga memperkirakan kelesuan ekonomi global ini akan menambah angka pekerja miskin atau mereka yang hidup dengan pendapatan kurang dari satu dolar per hari, yang saat ini berjumlah 40 juta orang.

Organisasi itu mengatakan saat ini perlu dirumuskan paket bantuan untuk keluarga pekerja dan ekonomi riil, bukan institusi keuangan.